Demokrasi adalah bentuk atau
mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan
rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica
yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol.
Ketiga jenis lembaga-lembaga
negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga
pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan
legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan.
Istilah “demokrasi” berasal dari
Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara
tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan
dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah
sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara. Kata
“demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata
kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi
saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila.
secara eksplisit ada 2 prinsip alam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan
Negara, yaitu:
·
Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas
hukum (Rechstaat)
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).
·
Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan 2 istilah Rechstaat
dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari
Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak
khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar.Dengan demikian, Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang
berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan
rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan
kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan
berkesinambungan. Pengertian lain dari Demokrasi Pancasila adalah sistem
pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan
rakyat.
Ciri-ciri dari Demokrasi Pancasila adalah:
·
Kedaulatan ada di tangan rakyat.
·
Selalu berdasarkan kekeluargaan dan
gotong-royong.
·
Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
·
Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan
partai oposisi.
·
Diakui adanya keselarasan antara hak dan
kewajiban.
·
Menghargai hak asasi manusia.
·
Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan
pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak
menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua pihak.
·
Tidak menganut sistem monopartai.
·
Pemilu dilaksanakan secara luber.
·
Mengandung sistem mengambang.
·
Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani
minoritas.
·
Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan
umum.
·
Indonesia adalah negara berdasar hukum.
·
Indonesia menganut sistem konstitusional.
·
MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi.
·
Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah
tertinggi di bawah MPR.
·
Pengawasan DPR.
·
Menteri negara adalah pembantu presiden, dan tidak
bertanggung jawab terhadap DPR.
·
Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas.
Kemudian fungsi dari Demokrasi
Pancasila adalah Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan
bernegara. Menjamin tetap tegaknya negara RI. Menjamin tetap tegaknya negara
kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional. Menjamin tetap tegaknya
hukum yang bersumber pada Pancasila, Menjamin adanya hubungan yang selaras,
serasi dan seimbang antara lembaga negara. Dan menjamin adanya pemerintahan
yang bertanggung jawab.
Konsep demokrasi di indonesia
Pendahuluan Sejak Indonesia merdeka, melalui UUD 1945 NKRI
menganut sistem demokrasi, Yaitu demokrasi perwakilan (representative
democracy) Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi yang Demokrasi liberal
(parlementer murni) {1950 – 1959}, Demokrasi terpimpin {1959 – 1966}, Demokrasi
Pancasila (Orba) {1966 – 1998}, Demokrasi Reformasi {1998 – Sekarang).
Unsur-Unsur Demokrasi Perwakilan Keterangan Unsur Gagasan
seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau (Abad XIX) Sumbernya
Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di
Eropa pada Abad XIX Sejarahnya Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam
wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai
warganegara dengan negaranya. Tujuannya Keputusan tertinggi yang pasti benar
& baik adalah yang ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang
dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas
manusia/warganegara pasti salah & tidak baik. Mekanismenya Partai Politik,
berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai. Sarananya Model
Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu :
·
sistem pembagian kekuasaan diantara
lembaga-lembaga negara,
·
sifat hubungan antara lembaga
legislatif dan lembaga eksekutif.
Demokrasi Indonesia model demokrasi yang paling tepat untuk
diterapkan pada suatu negara adalah yang sejalan dengan ideologi negara yang
bersangkutan Ideologi negara Indonesia adalah Pancasila maka upaya mencari
model demokrasi yang tepat tentunya harus diawali dengan upaya yang
sungguh-sungguh untuk memahami Pancasila yang merupakan ideologi negara Namun,
sampai saat ini Pancasila sebagai Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber
dalam kehidupan kenegaraan belum memiliki kerangka pemahaman yang baku dan ajeg
tentang demokrasi, atau singkatnya belum memiliki “Teori Demokrasi Pancasila” .
Mencari jalan alternatif
Demokrasi Pancasila PENELITIAN SOSIAL Untuk mengenali Nilai2 Dasar Bersama yang
secara aktual hidup & dianutoleh segenap (mayoritas) rakyat Indonesia
Tentang Nilai Demokrasi Kemungkinan/Alternatif HASIL PENELITIAN SOSIAL Nilai2
Pancasila masih dianut sesuai dengan aselinya Nilai2 Pancasil yang dianut telah
berubah sesuai perkembangan jaman Rakyat Indonesia telah menganut Nilai2 Dasar
Baru yang berbeda dengan Pancasila Rakyat Indonesia tidak memiliki Nilai2 Dasar
Bersama lagi (Vakum Ideologi) Tahapan Perumusan Seluruh Nilai2 Dasar Bersama
(termasuk nilai2 tentang Demokrasi) Tahap Pembentukan Pemahaman/Teori Demokrasi
Pancasila Tahap Pembentukan Pemahaman/Teori Demokrasi Indonesia Tahap Penetapan
Model Demokrasi Pancasila Tahap Penetapan Model Demokrasi Indonesia ASAS 2
HUKUM MATERIIL.
Dalam kondisi ini belum bisa dilaku-kan
penetapan Model Demokrasi, karena Bangsa & NKRI berada pada Situasi
Transisi me-nuju ke-3 Alternatif :
·
Mayoritas Rakyat sepakat kembali ke Nilai2 Dasar
Panca-sila.(Bangsa & NKRI survive).
·
Mayoritas Rakyat sepakat untuk men- dukung
Nilai2 Dasar Bersama yang Baru/Non-Pancasila. (Ter jadi proses pembentukan
Bangsa & Negara Baru).
·
Rakyat Indonesia tidak berhasil ber-sepakat
menetap-kan Nilai2 Dasar Bersama. (Terjadi pro-ses pembubaran Bangsa &
NKRI).
Muchyar Yara, SH.,MH. Staf
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum – Universitas Indonesia Makalah
Pembicara Panel pada Simposium “ Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi
dan Masyarakat Madani” Yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi
Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Bertempat di
Lembaga Biologi Molekuler EIJKMAN, Jalan Diponogoro 69, Jakarta Pusat 10430
Selasa, 8 Agustus 2006
Demokrasi Di Indonesia
Awal mula berkembangnya gagasan
dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan
situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang
ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap
arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis politik
berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke
Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide
dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini
para migran
politik tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa
yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
Di Indonesia, fenomena demokrasi
dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus
demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin
(1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru,
dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode
transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
Momentum historis perkembangan
demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3
November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan
perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta
rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta
berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk
sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo
berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953
Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29
September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan
anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai
berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis,
sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum
bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.Fragmentasi
politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil
pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu
memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi
justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti
pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen
memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai
politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya
dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh para
politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan
kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan
kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer
sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan
Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai
sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.
Kebobrokan demokrasi liberal
yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama
kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik
tersebut adalah mengubur demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak
cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi
parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, parliamentary democracy is
not good for revolution.
Demokrasi Diktatorial (dibawah
Soekarno dan Soeharto)
Dalam amanatnya kepada sidang
pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang
konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya
tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided
Democracy) .
Demokrasi Terpimpin Soekarno
kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang
melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan
Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya
kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno.
Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan
diri sebagai Orde Baru.
Konsepsi demokrasi Soeharto,
rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering
mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi
Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar
Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi
Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila
adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat
Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan
bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada
suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.Langkah politik awal yang dilakukan
Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan
merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut
oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki
pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru.
Sebagai upaya lanjut mengatasi
peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik
pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan
Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene,
dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai
parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini
merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk
membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara demokrasi
terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang
kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington
dinamakan gelombang demokrasi ketiga Soeharto menjawab dengan kebijakan
mulur mungkret liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik
disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus
mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar
dari aturan main yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship
yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan
runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter
mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya
ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah,
inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya
pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan
mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan
kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar
belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis,
nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum
pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan
pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal
memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
Beberapa kemajuan penting dalam
arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya
kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi
pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah),
amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden
maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak
demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.Kesuksesan
dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang
mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai
dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa
wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu
1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance
yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun
berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan
dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi
transisi demokrasi.
Praktik berdemokrasi di
Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional.
Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan
sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini
berhasil masuk dalam kategori negara bebas. Hal ini berbeda dengan
kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat
minimal (partly free).Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah,
dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah
sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada
membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat
kerusuhan pasca pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar