Secara umum, Imam Khomeini membagi ilmu dari– dari sisi
kemanfaatnya menjadi tiga jenis ilmu, yakni: Pertama, ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan
akhir penciptaan. Kedua, ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat
manusia melalaikan kewajiban-kewajiban pokoknya. Ketiga, ilmu-ilmu
yang tidak membawa mudharat dan tidak pula membawa manfaat.
Kebermanfaatan ilmu terkait erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi-kemanusiaan
manusia menuju kesempurnaan dirinya. Sampai saat ini, manusia
terus-menurus berada dalam proses evolusi. Namun, menurut Murtadha
Muthahhari, evolusi yang dijalani manusia, sejak kemunculan homo sapiens,
adalah evolusi kemasyarakatan, kejiwaan dan pemikiran, bukan evolusi biologis
dan fisiologis lagi. Suatu evolusi menuju kesempurnaan diri manusia.
Dalam evolusi kemanusiaan itu, manusia mengalami dan memiliki tiga macam alam, maqam
dan fase.
Menurut Imam Khomeini, manusia memiliki tiga alam, maqam,
dan fase. Ia menjelaskan,”pertama, fase akhirat yang merupakan
alam ghaib. Yakni maqam spiritual dan akal; kedua, fase barzakh
yang merupakan jembatan antara kedua alam, yaitu maqam khayal dan ketiga,
fase dunia yang menjadi daerah kekuasaan mulk (fisik) dan alam kasat
indra (‘alam syahadah). “
Tiga alam tersebut saling berkorelasi. Khomeini menulis,“misalnya, kalau
orang menunaikan tugas-tugas peribadatan dan ritus-ritus lahiriah sesuai
dengan yang ditetapkan oleh para nabi, jiwa dan hatinya akan terpengaruh oleh
pelaksanaan ritual-lahiriah tersebut. Akibatnya, akhlak dan budi
pekertinya akan membaik, seiring dengan penyempurnaan dalam keimanan dan
keyakinannya.” Jadi,,”semua (tingkatan) alam itu sesungguhnya adalah wajah dan
penampakkan yang berbeda dari realitas yang tunggal.” Singkatnya,”tak
boleh dibayangkan bahwa kita dapat memiliki keimanan yang sempurna dan akhlak
yang baik tanpa melakukan amal-amal lahiriah dan ibadah fisik yang telah
digariskan. Apabila akhlak kita cacat dan tidak baik, perbuatan (lahiriah) kita
sempurna dan iman kita sempurna, atau bahwa tanpa iman di hati kita, amal-amal
lahiriah kita dapat sempurna dan akhlak kita pun dapat sempurna.” Bahkan Bagi
Khomeini,”kalau amalan-amalan formal kita yang antara lain tercakup dalam
shalat, puasa dan haji tidak sempurrna dan melennceng dari ajaran para nabi dan
imam, niscaya timbul hijab di dalam hati dan kekeruhan dalam ruh yang pada
gilirannya akan mencegah masuknya cahaya keimanan dan keyakinan.”
Selanjutnya, Khomeini memandang bahwa, ”setiap fase ini memiliki
kesempurnaannya yang khas dan pendidikannya yang khas, dan seperangkat aturan
dan perilaku yang sesuai dengannya.” Oleh karena itu,” semua ilmu yang
bermanfaat dapat dibagi menjadi tiga ilmu ini: Ilmu yang berhubungan dengan
kesempurnaan-kesempurnaan (kamalat) akal dan tugas-tugas spiritual, ilmu
yang berhubungan dengan perilaku-perilaku dan tugas-tugas fisik dalam kehidupan
lahiriah jiwa,”tambah Imam Khomeini. Klasifikasi ilmu didasarkan pada
kesempurnaan-kesempurnaan yang ada pada tiap alam, maqam dan fase hidup
manusia.
Klasifikasi Ilmu
Khomeini mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hadis Rasul Saw. Hadis yang
dikutip Khomeini adalah hadis yang menceritakan bahwa suatu hari Rasul saw
memasuki masjid yang di dalamnya ada sekolompok orang sedang mengelilingi
seorang laki-laki. “siapa itu?
tanya Nabi.”Dia seorang ‘allamah (orang yang sangat alim).” “apa itu ‘allamah?
tanya Nabi lagi. ”Dia adalah orang yang sangat mengetahui soal silsilah,
sejarah masa lalu, zaman jahiliah, dan syair Arab.” Nabi berkata,”itu adalah
ilmu yang tidak merugi jika orang tidak mengetahuinya dan juga tidak beroleh
untung jika orang mengetahuinya.” Lalu, Nabi bersabda,”sesungguhnya ilmu
terbagi atas tiga hal berikut: ayah muhkamah (petunjuk yang kuat),
faridhah ‘adilah (tugas yang seimbang), dan sunnah qaimah (sunah
yang mapan). Selain itu, kurang ada gunanya.”
Khomeini menjelaskan makna hadis tersebut bahwa,”…’tanda yang kuat’ (ayat
muhkamat) menunjukkan ilmu-ilmu rasional dan doktrin-doktrin yang sejati
serta ajaran-ajaran Ilahi; ’Kewajiabn yang adil atau tugas yang seimbang’ (faridhah
‘adilah) menunjukkan ilmu-ilmu akhlak dan penyucian diri. ‘sunnah
yang mapan’ (sunnah qaimah) menunjukkan ilmu tentang aspek lahiriah
serta perilaku tubuh (yang melibatkan gerakan fisik tertentu). “
Jika ditanyakan, mengapa disebut ayat muhkamat? Khomeini
menjawab,“…ayat adalah sesuatu yang khusus untuk ilmu-ilmu (akal dan jiwa) yang
berkaitan dengan doktrin (ulum ma’arif). …muhkam (kuat,
tepat, tidak bermakna ganda) juga sesuai dengan ilmu-ilmu ini, karena ilmu-ilmu
ini tunduk pada kriteria intelektual dan didasarkan pada dalil-dalil rasional
yang kuat (burhan muhkam).” Dan mengapa disebut faridhah
‘adilah ? “…karena kebajikan (khulq hasan), sebagaimana ditunjukkan
dalam ilmu itu berdiri antara dua ektrem: keberlebihan dan pengabaian
(kekurangan), atau ifrath dan tafrith, dan kedua ektrem ini
tercela, sedangkan keadilan (‘adilah) artinya jalan tengah di antara
kedua ektrem itu, yang bersifat terpuji,”tulis Khomeini. Kemudian,
mengapa disebut sunnah qa’imah? “sifat ilmu tersebut pada umumnya tidak
dapat memahami dasar pemikirannnya oleh akal,”jelas Khomeini.
Ringkasan.
Untuk
memperjelas klasifikasi ilmu dalam pandangan Imam Khomeini, saya membuat bagan
berikut ini:
Alam
|
Maqam
|
Fase
|
Ilmu
|
Ghaib
|
Spiritual atau akal
|
Akhirat
|
Ayah muhkamah
|
Jembatan dua Alam
|
Khayal
|
Barzakh
|
Faridhah ‘adilah
|
Syahadah
|
Mulk (fisik)
|
Dunia
|
Sunnah qaimah
|
Pembagian
Ilmu Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam mempunyai dua maksud. Pertama pendidikan Islam Umum dan kedua
pendidikan Islam khusus (Hasan Langgulug, 1995). Pendidikan Islam umum ialah
pendidikan yang diberi kepada orang Islam dalam semua keadaan, seperti di
sekolah, di rumah, di kedai, di hospital, di jalan dan lain-lain. Ia
termasuk dalam semua hal, dalam ekonomi, sosial, politik, teknik, pelajaran,
permainan, sukan, pekerjaan dan sebagainya. Pendidikan Islam khusus ialah
mata pelajaran sekolah, iaitu yang termasuk di dalamnya ilmu-ilmu seperti
Tauhid, Fiqah, Tafsir, Hadis, Akhlak dan sebagainaya. Jadi, bila disebut
pendidikan Islam, ia tidak semestinya bermaksud mata pelajaran agama di
sekolah, malah ia bermaksud lebih luas lagi, iaitu segala usaha untuk
mendidik orang Islam menjadi muslim.
Dengan demikian, jelas kepada kita bahawa pendidikan Islam itu ialah satu usaha
mendidik insan muslim melalui nasihat, pengetahuan, ilmu, penghayatan, contoh,
sekolah, rumahtangga, masyarakat, alam sekitar dan lain-lain. Mata
pelajaran sekolah ialah Pengetahuan Agama Islam atau Agama atau Ilmu Agama,
atau Pengetahuan Islam. Pendidikan Islam sepatutnya terdapat dalam semua
mata pelajaran sekolah yang disampaikan oleh semua guru yang beragama Islam,
manakala ilmu Agama itu merupakan satu wadah dalam pendidikan.
Hasil
daripada kajian oleh Jawatankuasa Mengkaji Mata Pelajaran Agama Islam 1974 yang
dilaporkan melalui Jawatankuasa Kabinet 1979, mendapati pendidikan Islam tidak
berkesan atau kurang berkesan, kerana guru lebih mementingkan ilmu dan maklumat
untuk lulus peperiksaan sehingga tidak sempat hendak mendidik (Zainal Abidin
Abd. Kadir, 1994). Maka pada awal tahun 1980an ditukarkan nama Pengetahuan
Agama Islam kepada Pendidikan Islam dengan harapan agar tercapai hasrat
mendidik anak-anak orang Islam. Lanjutan daripada itu nama Kementerian
Pelajaran pun ditukar kepada Kementerian Pendidikan, Bahagian Latihan Guru
(BLG) ditukarkan kepada Bahagian Pendidikan Guru (BPG), Bahagian Pelajaran
Agama ditukar kepada Bahagian Pendidikan Islam, dan lain-lain.
Ini
merupakan satu langkah yang baik, tetapi, jika guru tidak faham konsep
pendidikan Islam dan tidak melaksanakannya seperti yang dihasratkan, apa yang
dilakukan hanya memberi maklumat sahaja, maka pendidikan Islam menjadi
tidak berkesan.
Sekolah merupakan institusi formal dalam proses memberi pendidikan Islam.
Pendidikan diberi berdasarkan disiplin ilmu. Disiplin ilmu lslam khusus
yang ada di sekolah ialah Aqidah, Ibadah, Akhlak, Sirah serta Tilawah Al-Quran
(Lihat sukatan pelajaran Pendidikan Islam menengah dan rendah, 1997).
Selain daripada itu, pendidikan Islam juga diberi secara tidak formal melalui
aktiviti kokurikulum sekolah. Seperti bekerjasama, budaya ilmu, solat
berjamaah, amanah, kebersihan, mengikut peraturan, makan beradab, tepat masa,
hormat guru, mengucap salam sesama Islam, ucapan selamat kepada yang bukan Islam
dan banyak lagi. Ini semua adalah pendidikan Islam.
Matlamat akhirnya ialah melahirkan individu muslim yang faham Islam dan
faham ilmu-ilmu Islam, seterusnya menghayati ajaran Islam dalam hidupnya dengan
bahagia, berkeluarga, bermasyarakat, bertamadun, serta mendapat kesejahteraan
selepas matinya.
Pada zaman Rasulullah s.a.w. dan zaman sahabat tiak terdapat disiplin ilmu
seperti di atas. Yang ada pada masa itu ialah Al-Quran dan Sunnah Rasul
s.a.w. Semua itu sumber ilmu Islam, dan tidak pun disebut sebagai ilmu
Tauhid, Feqah dan sebagainya. Apabila membincangkan konsep ketuhanan,
tentang kepercayaan kepada Allah dan hari Akhirat, maka itu Tauhid-lah
namanya. Apabila membaca ayat Al-Quran atau hadis Nabi s.a.w. yang
menceritakankan tentang hal ibadat zahir, maka dari segi ilmu, Feqah-lah
namanya. Demikianlah
dengan yang lain.
Selepas zaman sahabat, dan setelah ramai orang yang bukan Arab memeluk agama
Islam, maka ulama mula merumuskan isi Al-Quran dan hadis dalam bentuk matan
seperti yang ada sekarang. Kitab hadis Imam Malik, Al-Muwatta, disusun
mengikut tertib ilmu Feqah, iaitu bermula dengan hukum bersuci, solat dan
seterusnya. Beliau
adalah golongan Tabi’in (golongan selepas sahabat). Hingga
ke hari ini, kebanyakan negara Islam mempelajari Islam dalam bentuk
ini. Mana-mana kitab Feqah kita dapati sekarang disusun fihrisnya
mengikut susunan ini
Menuntut ilmu itu wajib ke atas setiap muslim. Ini adalah
berdasarkan sabda Nabi s.a.w.
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Maksudnya: “Menuntut
ilmu itu adalah wajib ke atas tiap-tiap orang Islam”
Riwayat Ibnul Abdil Barr.
Timbul persoalan; apakah ilmu yang wajib dituntut? Adakah ilmu agama
sahaja atau ilmu-ilmu lain? Dalam perbincangan ulama, Al-Ghazali (1988) menyebutkan bahawa kerana adanya Alif Lam
pada perkataan itu ( العلم )
maka ia menjadi ma’rifah. Jadi ilmu yang wajib dituntut itu ialah
ilmu agama sahaja. Ilmu lain tidak sampai ke martabat wajib. Walau
pun demikian, Al-Ghazali (1975) membahagikan wajib itu kepada dua jenis, iaitu
Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Ilmu Fardhu Ain ialah segala macam ilmu
untuk mengenal Allah, mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui perkara ghaib,
mengetahui cara beribadat, halal dan haram, mengetahui ilmu yang berkaitan
dengan menjaga hati dan amalan hati, seperti sabar, ikhlas, hasad, ujub,
takabur dan sebagainya. Di sinilah lahir istilah-istilah ilmu
Tauhid, Feqah dan Tasawuf. Di tampat yang lain Al-Ghazali (1988)
mengistilahkan dengan ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
Semua ini dipanggil Ilmu Syara’.
Ilmu Fardhu Kifayah ialah ilmu yang perlu diketahui untuk keperluan dan
keselesaan hidup di dunia. Tanpanya manusia menempuh kesusahan dan tidak
dapat menyempurnakan tuntutan Fardhu Ain. Contohnya seperti ilmu
perubatan, kejuruteraan, perindusterian, matematik, ekonomi, politik dan
lain-lain.
Maksud Fardhu Kifayah ialah cukup jika ada seorang daripada satu kumpulan orang
Islam yang belajar ilmu itu dan semua orang dalam kumpulan itu terlepas
daripada dosa. Sebaliknya jika tidak ada seorang pun dalam kumpulan itu
yang mengetahui ilmu ini, maka semua orang dalam kumpulan itu berdosa
(Al-Ghazali, 1988).
Perlu dijelaskan iaitu, yang dikatakan Fardhu Kifayah ialah tuntutan untuk
menuntut sesuatu ilmu itu, tetapi apabila telah menceburi di dalamnya ia
menjadi Fardhu Ain. Bandingannya ialah seperti solat. Mendirikan
solat sunat hukumnya sunat, tetapi apabila mengerjakannya maka wajib
mengerjakan semua rukunnya dengan sempurna.
Dalam sistem pendidikan negara ini telah diajar kedua-dua jenis ilmu ini;
Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Tetapi kefahaman tentang konsepnya masih
kabur. Pelajaran agama yang diajarkan dalam sekolah itu dikatakan Fardhu
Ain, pelajaran lain dikatakan Fardhu Kifayah. Pada hemat penulis,
pelajaran agama yang dipelajari di sekolah itu belum lagi sempurna Fardhu Ain,
malah ia merupakan asas Fardhu Ain. Sebab itu Kementerian Pendidikan menamakan
salah satu programnya bagi pelajar-pelajar Tahun 6, Tingkatan 3 dan Tingkatan 5
dengan Penilaian Asas Fardhu Ain. Maknanya, yang dipelajari itu baru asas
Fardhu Ain, belum lagi Fardhu Ain yang sebenarnya. (Lihat Buku Panduan Penilain Asas Fardhu
Ain (PAFA) oleh Kementerian Pendidikan Malaysia, 1994).
Menurut Al-Ghazali (1988), ilmu Fardhu Ain itu ialah ilmu yang wajib diketahui
oleh setiap muslim semasa ia hendak melakukan sesuatu yang wajib. Sesuatu
yang wajib itu janganlah disempitkan kepada solat, puasa dan haji sahaja, malah
banyak lagi perkara wajib yang kita lakukan setiap hari.
Contohnya, membaca Al-Quran itu hukumnya sunat, tetapi bila membaca wajib betul
sebutan makhraj dan sifat huruf serta barisnya. Untuk dapat menyebut dengan
betul, wajib belajar kepada gurunya yang muktabar, maka timbullah di sini ilmu
Tajwid. Dengan itu bermakna, belajar ilmu Tajwid itu wajib apabila hendak
membaca Al-Quran.
Berniaga adalah sunnah Rasul s.a.w., bekerja sebagai penaiaga ialah mencari
nafkah, mencari nafkah adalah wajib hukumnya. Hendak berniaga wajib ada
ilmu. Jadi, pada masa itu ia wajib belajar ilmu perniagaan. Ilmu
perniagaan di sini bukan bermaksud ilmu tentang untung rugi, ekonomi, simpan
kira dan sebagainya, sebaliknya ia bermaksud ilmu syariat. Iaitu
ilmu yang membicarakan tentang apa jenis benda yang boleh diperniagankan dan
apa yang tidak boleh, apakah perniagaan itu ada unsur riba atau tidak, dan
banyak lagi perkara yang berkaitan yang perlu di ketahui.
Menjadi pentadbir, ahli politik, doktor, pegawai, jurutera, guru dan
sebagainya, bukan wajib. Asalnya Fardhu Kifayah, tetapi apabila telah
mencebur diri di dalamnya ia menjadi Fardhu Ain. Kerana bekerja itu Fardhu Ain,
sebab mencari nafkah. Semasa menjalankan tugas wajib menjalankannya dengan
betul, jika tidak betul ia berdosa dan pendapatannya haram, untuk mengetahui
betul atau tidak perlu ada ilmu, untuk mendapat ilmu kena belajar. Jadi
belajar itu Fardhu Ain, kerana hendak beramal, yakni bekerja mengikut syariat
Islam. Dan ilmu yang dipelajari pada masa itu ialah ilmu Fardhu
Ain.
Belajar di sini ialah untuk
mengetahui apa perkara yang mesti dibuat semasa kita bekerja dan apa pula
perkara yang tidak boleh dilakukan, iaitu yang dilarang oleh syariat.
Inilah yang dikatakan ilmu Fardhu Ain, iaitu ilmu yang mesti diketahui oleh
setiap orang Islam apabila ia hendak melakukan sesuatu perkara yang wajib.
Semua ilmu ini (Fardhu Ain, Fardhu Kifayah dan Tahsiniyat) termasuk dalam bidang
pendidikan Islam. Iaitu mendidik setiap muslim, sama ada guru, kerani,
polis, askar, pentadbir, jurutera, pegawai, petani, peniaga, pemimpin dan
bermacam-macam jenis pekerjaan lagi, supaya menjadi seorang muslim yang beriman
dan beramal, dan terdidik dengan pendidikan Islam. Ia faham Islam, faham
tuntutan Islam dan menghayatinya. Ia faham tentang amanah yang diberikan
kepadanya dan melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab. Dan ia juga
faham dan sedar bahawa setiap perbuatannya akan dibicarakan di hadapan Allah
nanti di hari Kiamat.
Inilah maksud pendidikan Islam seperti yang disebutkan oleh Al-attas (1979) dan
Burlian Somad (1981). Persoalannya ialah, apakah pendidikan Islam dalam
sistem pendidikan hari ini menuju ke arah itu? Atau pun masyarakat,
termasuk golongan guru, masih kabur terhadap konsep dan kefahaman ini?
Masyarakat guru, samada guru Agama atau bukan guru Agama, harus faham dengan
sejelas-jelasnya konsep pendidikan Islam. Jika betul-betul diamati dan
difahami kita yakin bahawa semua guru yang beragama Islam ialah guru pendidikan
Islam. Pekerja dalam kawasan sekolah, kerani dan pengendali kantin juga
pendidik Islam. Mereka sama-sama bertanggungjawab untuk mendidik murid atau
pelajar yang beragama Islam di sekolah menjadi orang Islam. Seluruh orang dalam
masyarakat, di rumah, di kedai, di dewan, di tempat kerja dan lain-lain adalah
agen-agen pendidikan Islam dan bersama-sama bertanggungjawab dalam
pendidikan Islam, dalam erti kata menghidupkan iklim Islami, atau penghayatan
Islam. Maksudnya, jika ada sesuatu amalan atau pelakuan orang Islam yang
terang menyalahi ajaran Islam, maka wajib membetulkannya dan menasihat.
Jika tidak dilakukan kita adalah bersalah dengan Allah Taala. Manakala guru
Agama bertanggungjawab memberi ilmu Agama, kerana merka dipercayai mempunyai
ilmu Islam yang mencukupi untuk tujuan pengajaran dan diberi tauliah untuk
tujuan tersebut, dan dalam masa yang sama mereka juga mendidik.
Jika ini dapat difahami dengan
saksama dan dijalankan dengan baik dan teratuar, pendidikan akan
dapat berjalan dengan cukup berkesan di sekolah dan dalam masyarakat. Lanjutan
daripada itu banyak masalah disiplin di sekolah dan dalam masyarakat dapat
dikurangkan, kalau pun tidak dapat dihapuskan kesemuanya.
Dengan cara inilah diharapkan matlamat pendidikan Islam akan tercapai dan
masyarakat Islam akan maju seperti yang pernah berlaku pada kurun pertama dan
kedua hijrah duhulu.
Apa Itu Ilmu?
DEFINISI
Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988) memiliki dua pengertian,yaitu:
1.
Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu
hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
2.
Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi,
akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu
bathin, ilmu sihir, dan sebagainya.
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan :
Ilmu : merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan menggunakan metode-metode
tertentu.
KARAKTERISTIK
ILMU
- Menurut
Randall dan Buchker (1942) mengemukakan beberapa ciri umum ilmu
diantaranya :
- 1.
Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.
- 2.
Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan karena
yang menyelidiki adalah manusia.
- 3.
Ilmu bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan
metode ilmu tidak tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung
pada pemahaman secara pribadi.
Menurut
Ernest van den Haag (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-ciri ilmu, yaitu : 1.
Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal
(rasio). 2. Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman
oleh panca indera. 3. Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia
tanpa terkecuali. 4. Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk
dijadikan objek penelitian selanjutnya.
PERBEDAAN
DAN PERSAMAAN ILMU DENGAN FILSAFAT
Ø
Perbedaan
- Ilmu bersifat
analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek
formalnya. filsafat bersifat pengetahuan sinopsis artinya melihat segala
sesuatu dengan menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan memiliki
sifat tersendiri yang tidak ada pada bagian – bagiannya.
- Ilmu bersifat
deskritif tentang objeknya agar dapat menemukan fakta – fakta, netral
dalam arti tidak memihak pada etnik tertentu. Filsafat tidak hanya
menggambarkan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan
– putusan tentang tujuan, nilai –nilai, dari tentang apa –apa yang harus
diperbuat manusia. Filfat tidak netral, karena faktor – faktor subjektif
memegang peranan yang penting dalam berfilsafat.
- Ilmu
mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang tidak perlu
diuji, sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan
kembali asumsi –asumsi yang telah ada untuk dikaji ulang tentang kebenaran
asumsi.
- Ilmu
menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi
terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji dalam praktik berdasarkan
metode –metode ilmu yang empiris. Selain menghasilkan suatu konsep atau
teori, filsafat juga menggunakan hasil – hasil ilmu, dilakukan dengan
menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada semua pengalaman
insani,sehingga dengan demikian filsafat dapat menelaah yang tidak
dicarikan penyelesaianya oleh ilmu
Ø
Persamaan
- Filsafat
dan ilmu, keduanya menggunakan metode berpikir reflektif ( refflectife
thinking ) dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup.
- Filsafat
dan ilmu, keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisasi dan
tersusun secara sistematis.
·
Ilmu membantu filsafat dalam
mengembangkan sejumlah bahan- bahan deskriktif dan faktual serta esensial bagi
pemikiran filsafat.
·
Ilmu mengoreksi filsafat dengan
jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan pengetahuan
ilmiah
·
Filsafat merangkum pengetahuan yang
terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam ilmu dan yang berbeda serta
menyusun bahan-bahan tersebut kedalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia
dan menyeluruh dan terpadu.
HUBUNGAN ILMU
DENGAN FILSAFAT
Dasar manusia mencari dan menggali
ilmu pengetahuan bersumber kepada tiga pertanyaan. Sementara filsafat
,memepelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan
dasar bagi eksistensi ilmu. Untuk mengingatkan ketiga pertanyaan itu adalah:
1. Apa yang ingin kita ketahui?
2. Bagaimana cara kita memeperoleh pengetahuan?
3. Apakah nilai (manfaat) pengetahua tersebut bagi kita?
Pertanyaan pertama di atas merupakan
dasar pembahasan dalam filsafat dan biasa disebut dengan ONTOLOGI , pertanyaan
kedua juga merupakan dasar lain dari filsafat, disebut dengan EPISTEMOLOGI dan
pertanyaan terakhir merupakan landasan lain dari filsafat yang disebut dengan
AXIOLOGI. Ketiga hal di atas merupakan landasan bagi filsafat dalam membedah
setiap jawaban dan seterusnya membawa kepada hakekat buah pemikiran tersebut.
Hal ini juga berlaku untuk ilmu pengetahuan, kita
mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang
sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.
Untuk
memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa
alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu pengetahuan adalah
sbb. :
ü Rationalism; Penalaran manusia yang
merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
ü Empirism; alat untuk mencari
kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama
ü Logical Positivism; Menggunakan
logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
ü Pragmatism; Nilai akhir dari suatu
ide atau kebenaran yang disepakati adalah kegunaannya untuk menyelesaikan
masalah-masalah praktis.
Ilmu
pengetahuan merupakan sesuatu yang dinamis , tersusun sebagai teori-teori yang
saling mengeritik, mendukung dan Teori
TEORI
§
Teori
merupakan pengetahuan ilmiah mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu
dari suatu disiplin ilmu, dan dianggap benar
§
Teori
biasanya terdiri dari hukum-hukum, yaitu : pernyataan ( statement ) yang
menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau lebih
§
Teori
memerlukan tingkat keumuman yang tinggi, yaitu bersifat universal supaya lebih
berfungsi sebagai teori ilmiah
Tiga syarat utama
teori ilmiah :
o
Harus
konsisten dengan teori sebelumnya
o
Harus
cocok dengan fakta-fakta empiris
o
Dapat
mengganti teori lama yang tidak cocok dengan pengujian empiris dan fakta bertumpu
untuk mendekati kebenaran
Beberapa
istilah yang biasa digunakan dalam komunikasi ilmu pengetahuan :
·
Axioma
Pernyataan yang diterima tanpa
pembuktian karena telah terlihat kebenarannya
·
Postulat
Suatu pernyataan yang diterima
“benar” semata-mata untuk keperluan berkomunikasi
·
Presumsi
Suatu pernyataan yang disokong oleh
bukti atau percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai benar
walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar
·
Asumsi
Suatu pernyataan yang tidak terlihat
kebenarannya maupun kemungkinan benar tidak tinggi
Filsafat Ilmu Pengetahuan selalu
memperhatikan : dinamika ilmu, metode ilmiah, dan ciri ilmu pengetahuan.
- Dinamis : dengan
aktivitas/perkembangan pengetahuan sistematik dan rasional yang benar
sesuai fakta dengan prediksi dan hasil ada aplikasi ilmu dan teknologi,
dinamika perkembangan karena ilmu pengetahuan bersimbiose dengan teknologi
- Metode Ilmiah : dengan berbagai
ukuran riset yang disesuaikan.
- Ciri Ilmu : perlu memperhatikan
dua aspek, yaitu : sifat ilmu dan klasifikasi ilmu
ASPEK AKSIOLOGI
Tujuan dasarnya : menemukan kebenaran atas fakta “yang ada”
atau sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah Contohnya : Pada Ilmu
Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi tingkat kepadatan
tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian laboratorium dengan simulasi
berbagai variasi kadar air ternyata terbukti bahwa teori tersebut benar.
Menurut
Al-Amiri
Pengertian Ilmu
Sebagaimana
akan terlihat dalam paparan di bagian ini, al-‘Amiri telah menjelaskan berbagai
subjek epistemologi, seperti kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan,
karakter dan cara memperoleh pengetahuan, dan kriteria kebenaran. Lebih dari
itu, dia juga membahas relasi antara pengetahuan atau ilmu dengan perbuatan dan
faidah-faidah berbagai ilmu dalam kajiannya tentang harmonisasi antara filsafat
dengan agama.
Al-‘Amiri
mendefinisikan ilmu sebagai “Penguasaan tentang sesuatu sebagaimana adanya
tanpa kesalahan atau penyimpangan. Ilmu terbagi dua, relijius (al-milli>)
dan filosofis (al-hikmi>). Pemilik ilmu relijius adalah para nabi yang
terpilih, sedangkan pemilik ilmu filosofis adalah para filsuf yang terlatih.
Semua nabi adalah filsuf, tapi tidak semua filsuf adalah nabi.
Berdasarkan
definisi ini, al-‘Amiri memandang bahwa pengetahuan yang mencapai level ilmu
adalah pengetahuan yang sempurna dari berbagai aspek, yaitu pengetahuan tentang
sebab-sebab pertama agar pengetahuan itu bersifat meyakinkan. Al-‘Amiri
menguatkan pendapatnya dengan contoh-contoh. Misalnya, seseorang, walaupun
menikmati musik, tidak disebut pemusik kecuali dia mengetahui prinsip-prinsip
musik.
Al-‘Amiri meyakini
kemampuan manusia untuk memperoleh ilmu. Kaum Sofis yang menyatakan manusia
tidak mungkin mencapai satu hakikat dia sebut sebagai orang-orang yang
mengingkari hakikat yang ditangkap indera maupun akal. Selain itu, pada
masanya, ada juga sekelompok Ahli Teologi yang bersikap seperti Kaum Sofis.
Mereka adalah orang-orang yang kecewa dengan perdebatan para teolog dari
berbagai aliran dalam masalah-masalah teoritis. Tentang kelompok yang terakhir
ini, di dalam buku al-Amad ‘ala al-Abad, seperti dikutip Mona Abu Zayd,
al-‘Amiri mengatakan, “Ketika mereka melihat isi dan makna pendapat yang
dilontarkan kedua belah pihak bertentangan satu sama lain, dan mereka tidak
memiliki kemampuan untuk menilai dan membedakan antara pendapat yang sahih
dengan tidak sahih, mereka memutuskan bahwa semuanya salah.
Instrumen Dan Jenis Ilmu
Al-‘Amiri
mengatakan bahwa instrumen pengetahuan ada empat macam, yaitu aksioma akal,
eksperimen, wahyu, dan quwwah sina>‘ah mutaqaddimah.[26] Sedangkan cara
manusia memperoleh pengetahuan, menurut al-‘Amiri, ada tiga, yaitu taqlid,
persuasi (iqna>‘), dan demonstrasi (burha>n). Cara yang menjadi subjek
kajian al-‘Amiri adalah yang ketiga, cara memperoleh pengetahuan yang disebut
al-‘Amiri, “Sangat sulit karena validasinya tergantung pada premis-premis
aksiomatis yang benar.
Orientasi
epistemologis al-‘Amiri adalah gabungan antara empirisme dengan rasionalisme.
Dia menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh baik dengan akal maupun
indera. Pengetahuan inderawi adalah pengetahuan tentang hal-hal yang menjadi
objek indera (mahsu>sa>t), sedangkan pengetahuan rasional adalah
pengetahuan yang subjeknya adalah genus dan spesies. Untuk menguatkan pandangan
ini, al-‘Amiri mengkritik baik aliran Empirisme maupun Rasionalisme
Klasifikas Ilmu
Dalam perkataan
al-‘Amiri tersebut, dia mengklasifikasi ilmu menjadi dua bagian utama, yaitu
ilmu-ilmu rasional (al-‘ulu>m al-hikmiyyah) dan ilmu-ilmu relijius
(al-‘ulu>m al-milliyyah). Ghurab mengatakan bahwa meskipun al-‘Amiri
mendalami ilmu-ilmu filosofis sehingga dia dijuluki Filsuf Nishapur, tapi inti
pengetahuannya adalah ilmu-ilmu Islam seperti terlihat dalam penjelasannya
tentang klasifikasi ilmu.Pandangan ini diisyaratkan juga oleh Nasr yang
mengatakan
Ø
Ilmu filosofis
Al-‘Amiri menyebut ilmu-ilmu filosofis dengan istilah al-‘ulum al-hikmiyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m al-hikmiyyah adalah ilmu-ilmu yang mencakup metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu empiris, seperti aritmetika, geometri, astronomi, mekanika, dan ilmu-ilmu fisika yang mencakup zoologi, botani, dan minerologi, selain ilmu kedokteran dan farmakologi.Al-‘Amiri membela ilmu-ilmu ini dan menyatakan bahwa mempelajarinya adalah wajib. Dalam pembelaannya, dia menekankan:
Al-‘Amiri menyebut ilmu-ilmu filosofis dengan istilah al-‘ulum al-hikmiyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m al-hikmiyyah adalah ilmu-ilmu yang mencakup metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu empiris, seperti aritmetika, geometri, astronomi, mekanika, dan ilmu-ilmu fisika yang mencakup zoologi, botani, dan minerologi, selain ilmu kedokteran dan farmakologi.Al-‘Amiri membela ilmu-ilmu ini dan menyatakan bahwa mempelajarinya adalah wajib. Dalam pembelaannya, dia menekankan:
1. Wahyu
selaras dan tidak bertentangan dengan akal.
2. Islam
menyerukan ilmu yang bermanfaat apa pun jenisnya.
3. Kajian
terhadap ilmu matematika dan ilmu empiris menjelaskan bahwa penciptaan dan pengaturan alam semesta tidak berbasis
kebetulan, kekacauan, atau kesia-siaan, tapi berbasis keteraturan,
kebijaksanaan, dan berdasarkan hukum yang tidak berubah-ubah, sehingga ilmu ini
akan menolong pengkajinya untuk menemukan hikmah penciptaan berbagai makhluk
dan hukum kausalitas yang mengatur keberadaan, fungsi, dan relasi
makhluk-makhluk itu.
4. Metode
ilmu-ilmu ini adalah demonstratif sehingga jiwa kirits umat Islam akan terlatih
dan mereka tidak menerima klaim tanpa dalil dan pernyataan tanpa bukti,
sehingga iman mereka akan berdasar pada penerimaan dan pemahaman, dan bukannya
taklid buta.
5. Mempelajari
ilmu-ilmu ini jelas memberikan manfaat bagi umat manusia secara umum dan umat
Islam secara khusus
Ø
Ilmu
Relijius
Al-‘Amiri menyebut ilmu relijius atau ilmu keagamaan dengan istilah
al-‘ulum al-milliyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m al-milliyyah adalah
ilmu-ilmu agama Islam, yaitu seperti yang dia sebutkan sendiri, ilmu hadith,
ilmu fikih, ilmu kalam, dan ilmu bahasa dan sastera. Al-‘Amiri juga seorang
pakar dalam ilmu-ilmu ini dan dia membelanya dengan pembelaan yang sangat
indah. Pertama, secara umum, ketika membahas ilmu-ilmu ini secara umum, yakni
tentang dasar-dasarnya, keterikatannya dengan wahyu, dan khidmatnya bagi agama,
al-‘Amiri menegaskan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan ilmu-ilmu yang paling mulia
dan paling tinggi derajatnya. Dia mengemukakan tiga alasan:
ü
Ilmu-ilmu ini dapat meneguhkan keyakinan dan
penghambaan manusia kepada Allah dengan mengenalkan agama yang benar. Sebab,
manusia tidak akan dapat menunaikan hak-hak Allah kecuali dengan mengetahui
agama-Nya yang benar.
ü
Ilmu-ilmu ini tidak hanya memenuhi kebutuhan
individual, tapi juga kebutuhan masyarakat, bahkan umat manusia, karena
ilmu-ilmu ini bertujuan kebaikan secara universal dan mengupayakan manfaat yang
meliputi seluruh makhluk.
ü
Ilmu-ilmu ini lebih utama daripada ilmu-ilmu
rasional karena ilmu-ilmu rasional berbasis akal manusia yang dapat salah dan
sesat, sedangkan ilmu-ilmu ini berbasis pada pondasi yang meyakinkan dan
bersumber pada cahaya wahyu ilahi yang tidak dapat diragukan dan tidak mungkin
terjadi kesalahan atau kelupaan padanya.
Kesimpulan:
Pandangan epistemologis al-‘Amiri tentang ilmu dan klasifikasinya telah menjadi jembatan pemikiran antara al-Kindi dan al-Farabi dengan Ibnu Sina dan memberikan dasar-dasar pemikiran yang kuat untuk harmonisasi akal dengan wahyu yang akan menjadi ciri khas mayoritas filsuf muslim pada abad-abad berikutnya. Gagasannya tentang ilmu ini juga mendasari sistem pemikiran al-‘Amiri secara umum terutama pada saat dia menguraikan pandangannya tentang manusia dan pada saat dia mengkomparasi ajaran Islam dengan ajaran agama-agama lain.
Pandangan epistemologis al-‘Amiri tentang ilmu dan klasifikasinya telah menjadi jembatan pemikiran antara al-Kindi dan al-Farabi dengan Ibnu Sina dan memberikan dasar-dasar pemikiran yang kuat untuk harmonisasi akal dengan wahyu yang akan menjadi ciri khas mayoritas filsuf muslim pada abad-abad berikutnya. Gagasannya tentang ilmu ini juga mendasari sistem pemikiran al-‘Amiri secara umum terutama pada saat dia menguraikan pandangannya tentang manusia dan pada saat dia mengkomparasi ajaran Islam dengan ajaran agama-agama lain.
Klasifikasi Ilmu Menurut Imam al-Ghazali
KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN
MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Topik ini mula diberi perhatian oleh Imam al-Ghazali setelah
beliau mendapati sebahagian daripada ilmuan Islam dari pelbagai bidang disiplin
ilmu seperti ilmu kalam [tawhid], fiqh, tasawuf, tafsir dan hadith bercanggah
pendapat tentang bidang-bidang ilmu yang wajib dikuasai oleh setiap individu
Islam.
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad
(s.a.w) yang bermaksud “Menuntut ilmu adalah fardhu yang diwajibkan ke atas
setiap individu Islam”. Imam al-Ghazali menimbulkan persoalan tentang ilmu;
adakah menuntut ilmu itu fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah atas individu Islam
?
Berpandukan persoalan tersebut Imam
al-Ghazali telah mengkalsifikasikan ilmu kepada dua bahagian utama iaitu :
a) Ilmu Mu‘amalah.
Ilmu mu‘amalah dimaksudkan sebagai suatu
ilmu yang diperolehi manusia samada melalui utusan Allah, akal [pembelajaran],
pengalaman dan pendengaran. Pada asasnya ilmu tersebut [mu‘amalah] tiada
sebarang perbezaan melainkan menerusi nama-nama khas yang dberikan kepadanya
seperti ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah oleh para ilmuan Islam.
Ilmu
mu‘amalah menurut beliau terbahagi kepada dua bahagian iaitu :
1-
Ilmu fardhu ‘ain.
Ilmu fardhu ‘ain secara ringkas dimaksudkan
sebagai ilmu tentang asas-asas agama Islam seperti mengucap syahadah,
menunaikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan fardhu haji
bagi yang berkemampuan. Ia merupakan suatu ilmu yang wajib dituntut oleh setiap
individu Islam kerana menerusi ilmu pengetahuan tersebut individu Islam dapat
melaksanakan segala tuntutan yang ditaklifkan samada berbentuk iktikad
[kepercayaan], melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Ilmu fardhu ‘ain
hanya diperolehi menerusi utusan Allah iaitu para rasulNya.
2-
Ilmu fardhu kifayah.
Ilmu fardhu kifayah menurut ajaran Islam merupakan
suatu ilmu yang perlu dikuasai oleh sebahagian manusia yang mendiami sesebuah
kawasan, daerah atau negeri. Hukum mempelajari ilmu fardhu kifayah berubah
menjadi fardhu ‘ain apabila tiada seseorang pun di sesebuah kawasan, daerah
atau negeri mengetahui tentang sesuatu ilmu seperti ilmu perubatan, pertanian,
pembinaan, pengiraan dan sebagainya. Ilmu fardhu kifayah juga dimaksudkan
sebagai ilmu yang berhubung kait dengan kehidupan sosial. Ilmu tersebut
terbahagi kepada tiga bahagian iaitu :
Ø
Terpuji
Ilmu terpuji adalah ilmu yang bermanfaat kepada
kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Menurut Imam al-Ghazali ilmu terpuji
merangkumi dua kategori iaitu :
a)
Ilmu syariah.
Ilmu syariah hanya dapat diperolehi menerusi utusan
Allah atau dalam kata lain ilmu yang tak tercapai oleh akal, pengalaman dan
pendengaran untuk mengetahuinya seperti ilmu tentang hari kiamat.
b) Ilmu umum.
Ilmu umum pula mampu diperolehi manusia menerusi akal
(pembelajaran), pengalaman dan pendengaran seperti ilmu bahasa dan ilmu
perubatan.
Ø
Harus.
Ilmu yang harus dipelajari oleh manusia adalah seperti
ilmu-ilmu kesusasteraan, sejarah dan sebagainya.
Ø
Tercela.
Ilmu tercela merupakan ilmu yang dilarang kepada
manusia untuk mempelajarinya seperti ilmu sihir dan sebagainya.
b) Ilmu Mukasyafah.
Ilmu
mukasyafah merupakan suatu ilmu yang hanya diperolehi oleh manusia menerusi
ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya setelah melalui peringkat-peringkat
tertentu dalam amalannya. Ilmu ini lebih dikenali di kalangan ahli-ahli tasawuf
sebagai ilmu ladunni.
Pembahagian ilmu-ilmu tersebut adalah berdasarkan kepada pemerhatian Imam
al-Ghazali tentang :
a)
Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada manusia dari segi
penggunaanya seperti ilmu bahasa.
b)
Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada kehidupan beragama manusia.
c)
Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada kehidupan manusia di dunia
seperti ilmu perubatan dan pengiraan.
d) Sejauhmanakah
kesan ilmu-ilmu tersebut dalam memberi ilmu pengetahuan dan keseronokan kepada
manusia seperti ilmu kesusasteraan dan ilmu sejarah.
Menurut Imam al-Ghazali dasarnya sesuatu ilmu tidak tercela sehinggalah ilmu
tersebut :
1-
Mendatangkan kemudaratan ke atas diri orang yang mempelajarinya serta orang
lain.
2-
Mendatangkan lebih banyak kemudaratan kepada penuntutnya.
3- Tidak
memberikan sebarang faedah kepada penuntutnya mahupun orang lain.
Berdasarkan
kepada klasifikasi ilmu yang diberikan oleh Imam al-Ghazali ilmu fardhu ‘ain
merupakan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu Islam. Manakala
lain-lain ilmu adalah berdasarkan kepada sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut
bermanfaat kepada kehidupan individu ataupun masyarakat di dunia dan di
akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar