Jumat, 16 Desember 2011

KLASIFIKASI ILMU MENURUT IMAM KHOMEINI


Secara umum, Imam Khomeini membagi ilmu dari– dari sisi kemanfaatnya menjadi tiga jenis ilmu, yakni: Pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Kedua, ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban-kewajiban pokoknya.  Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak membawa mudharat dan tidak pula membawa manfaat.  Kebermanfaatan ilmu terkait erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi-kemanusiaan manusia menuju kesempurnaan dirinya.  Sampai saat ini, manusia terus-menurus berada dalam proses evolusi.  Namun, menurut Murtadha Muthahhari, evolusi yang dijalani manusia, sejak kemunculan homo sapiens, adalah evolusi kemasyarakatan, kejiwaan dan pemikiran, bukan evolusi biologis dan fisiologis lagi.  Suatu evolusi menuju kesempurnaan diri manusia. Dalam evolusi kemanusiaan itu, manusia mengalami dan memiliki tiga macam alam, maqam dan fase.

Menurut Imam Khomeini, manusia memiliki tiga alam, maqam, dan fase.  Ia menjelaskan,”pertama, fase akhirat yang merupakan alam ghaib. Yakni maqam spiritual dan akal; kedua, fase barzakh yang merupakan jembatan antara kedua alam, yaitu maqam khayal  dan ketiga, fase dunia yang menjadi daerah kekuasaan mulk (fisik) dan alam kasat indra (‘alam syahadah). “ 

Tiga alam tersebut saling berkorelasi. Khomeini menulis,“misalnya, kalau orang menunaikan tugas-tugas peribadatan dan ritus-ritus lahiriah  sesuai dengan yang ditetapkan oleh para nabi, jiwa dan hatinya akan terpengaruh oleh pelaksanaan ritual-lahiriah tersebut.  Akibatnya, akhlak dan budi pekertinya akan membaik, seiring dengan penyempurnaan dalam keimanan dan keyakinannya.” Jadi,,”semua (tingkatan) alam itu sesungguhnya adalah wajah dan penampakkan yang berbeda dari realitas yang tunggal.”  Singkatnya,”tak boleh dibayangkan bahwa kita dapat memiliki keimanan yang sempurna dan akhlak yang baik tanpa melakukan amal-amal lahiriah dan ibadah fisik yang telah digariskan. Apabila akhlak kita cacat dan tidak baik, perbuatan (lahiriah) kita sempurna dan iman kita sempurna, atau bahwa tanpa iman di hati kita, amal-amal lahiriah kita dapat sempurna dan akhlak kita pun dapat sempurna.” Bahkan Bagi Khomeini,”kalau amalan-amalan formal kita yang antara lain tercakup dalam shalat, puasa dan haji tidak sempurrna dan melennceng dari ajaran para nabi dan imam, niscaya timbul hijab di dalam hati dan kekeruhan dalam ruh yang pada gilirannya akan mencegah masuknya cahaya keimanan dan keyakinan.”

Selanjutnya, Khomeini memandang bahwa, ”setiap fase ini memiliki kesempurnaannya yang khas dan pendidikannya yang khas, dan seperangkat aturan dan perilaku yang sesuai dengannya.” Oleh karena itu,” semua ilmu yang bermanfaat dapat dibagi menjadi tiga ilmu ini: Ilmu yang berhubungan dengan kesempurnaan-kesempurnaan (kamalat) akal dan tugas-tugas spiritual, ilmu yang berhubungan dengan perilaku-perilaku dan tugas-tugas fisik dalam kehidupan lahiriah jiwa,”tambah Imam Khomeini.  Klasifikasi ilmu didasarkan pada kesempurnaan-kesempurnaan yang ada pada tiap alam, maqam dan fase hidup manusia.

Klasifikasi Ilmu

Khomeini mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hadis Rasul Saw. Hadis yang dikutip Khomeini adalah hadis yang menceritakan bahwa suatu hari Rasul saw memasuki masjid yang di dalamnya ada sekolompok orang sedang mengelilingi seorang laki-laki.  “siapa itu? tanya Nabi.”Dia seorang ‘allamah (orang yang sangat alim).” “apa itu ‘allamah? tanya Nabi lagi. ”Dia adalah orang yang sangat mengetahui soal silsilah, sejarah masa lalu, zaman jahiliah, dan syair Arab.” Nabi berkata,”itu adalah ilmu yang tidak merugi jika orang tidak mengetahuinya dan juga tidak beroleh untung jika orang mengetahuinya.”  Lalu, Nabi bersabda,”sesungguhnya ilmu terbagi atas tiga hal berikut:  ayah muhkamah (petunjuk yang kuat), faridhah ‘adilah (tugas yang seimbang), dan sunnah qaimah (sunah yang mapan).  Selain itu, kurang ada gunanya.”

Khomeini menjelaskan makna hadis tersebut bahwa,”…’tanda yang kuat’ (ayat muhkamat) menunjukkan ilmu-ilmu rasional dan doktrin-doktrin yang sejati serta ajaran-ajaran Ilahi; ’Kewajiabn yang adil atau tugas yang seimbang’ (faridhah ‘adilah) menunjukkan ilmu-ilmu akhlak dan penyucian diri.  ‘sunnah yang mapan’ (sunnah qaimah) menunjukkan ilmu tentang aspek lahiriah serta perilaku tubuh (yang melibatkan gerakan fisik tertentu). “

Jika ditanyakan, mengapa disebut ayat muhkamat? Khomeini menjawab,“…ayat adalah sesuatu yang khusus untuk ilmu-ilmu (akal dan jiwa) yang berkaitan dengan doktrin (ulum ma’arif).  …muhkam (kuat, tepat, tidak bermakna ganda) juga sesuai dengan ilmu-ilmu ini, karena ilmu-ilmu ini tunduk pada kriteria intelektual dan didasarkan pada dalil-dalil rasional yang kuat (burhan muhkam).”  Dan mengapa disebut faridhah ‘adilah ? “…karena kebajikan (khulq hasan), sebagaimana ditunjukkan dalam ilmu itu berdiri antara dua ektrem: keberlebihan dan pengabaian (kekurangan), atau ifrath dan tafrith, dan kedua ektrem ini tercela, sedangkan keadilan (‘adilah) artinya jalan tengah di antara kedua ektrem itu, yang bersifat terpuji,”tulis Khomeini.  Kemudian, mengapa disebut sunnah qa’imah? “sifat ilmu tersebut pada umumnya tidak dapat memahami dasar pemikirannnya oleh akal,”jelas Khomeini.

Ringkasan.

Untuk memperjelas klasifikasi ilmu dalam pandangan Imam Khomeini, saya membuat bagan berikut ini:

Alam
Maqam
Fase
Ilmu
Ghaib
Spiritual atau akal
Akhirat
Ayah muhkamah
Jembatan dua Alam
Khayal
Barzakh
Faridhah ‘adilah
Syahadah
Mulk (fisik)
Dunia
Sunnah qaimah


Pembagian Ilmu Dalam Pendidikan Islam


Pendidikan Islam mempunyai dua maksud.  Pertama pendidikan Islam Umum dan kedua pendidikan Islam khusus (Hasan Langgulug, 1995). Pendidikan Islam umum ialah pendidikan yang diberi kepada orang Islam dalam semua keadaan, seperti di sekolah, di rumah, di kedai, di hospital, di jalan dan lain-lain.  Ia termasuk dalam semua hal, dalam ekonomi, sosial, politik, teknik, pelajaran, permainan, sukan, pekerjaan dan sebagainya.  Pendidikan Islam khusus ialah mata pelajaran sekolah, iaitu yang termasuk di dalamnya ilmu-ilmu seperti Tauhid, Fiqah, Tafsir, Hadis, Akhlak dan sebagainaya.  Jadi, bila disebut pendidikan Islam, ia tidak semestinya bermaksud mata pelajaran agama di sekolah, malah ia  bermaksud lebih luas lagi, iaitu segala usaha untuk mendidik orang Islam menjadi muslim.
            Dengan demikian, jelas kepada kita bahawa pendidikan Islam itu ialah satu usaha mendidik insan muslim melalui nasihat, pengetahuan, ilmu, penghayatan, contoh, sekolah, rumahtangga, masyarakat, alam sekitar dan lain-lain.  Mata pelajaran sekolah ialah Pengetahuan Agama Islam atau Agama atau Ilmu Agama, atau Pengetahuan Islam.  Pendidikan Islam sepatutnya terdapat dalam semua mata pelajaran sekolah yang disampaikan oleh semua guru yang beragama Islam, manakala ilmu Agama itu merupakan satu wadah dalam pendidikan. 
Hasil daripada kajian oleh Jawatankuasa Mengkaji Mata Pelajaran Agama Islam 1974 yang dilaporkan melalui Jawatankuasa Kabinet 1979, mendapati pendidikan Islam tidak berkesan atau kurang berkesan, kerana guru lebih mementingkan ilmu dan maklumat untuk lulus peperiksaan sehingga tidak sempat hendak mendidik (Zainal Abidin Abd. Kadir, 1994). Maka pada awal tahun 1980an ditukarkan nama Pengetahuan Agama Islam kepada Pendidikan Islam dengan harapan agar tercapai hasrat mendidik anak-anak orang Islam. Lanjutan daripada itu nama Kementerian Pelajaran pun ditukar kepada Kementerian Pendidikan, Bahagian Latihan Guru (BLG) ditukarkan kepada Bahagian Pendidikan Guru (BPG), Bahagian Pelajaran Agama ditukar kepada Bahagian Pendidikan Islam, dan lain-lain. 
Ini merupakan satu langkah yang baik, tetapi, jika guru tidak faham konsep pendidikan Islam dan tidak melaksanakannya seperti yang dihasratkan, apa yang dilakukan hanya memberi maklumat sahaja,  maka pendidikan Islam menjadi tidak   berkesan.  
            Sekolah merupakan institusi formal dalam proses memberi pendidikan Islam.  Pendidikan diberi berdasarkan disiplin ilmu.  Disiplin ilmu lslam khusus yang ada di sekolah ialah Aqidah, Ibadah, Akhlak, Sirah serta Tilawah Al-Quran (Lihat sukatan pelajaran Pendidikan Islam menengah dan rendah, 1997).  Selain daripada itu, pendidikan Islam juga diberi secara tidak formal melalui aktiviti kokurikulum sekolah.  Seperti bekerjasama, budaya ilmu, solat berjamaah, amanah, kebersihan, mengikut peraturan, makan beradab, tepat masa, hormat guru, mengucap salam sesama Islam, ucapan selamat kepada yang bukan Islam dan banyak lagi.  Ini semua adalah pendidikan Islam.
            Matlamat akhirnya ialah melahirkan individu muslim  yang faham Islam dan faham ilmu-ilmu Islam, seterusnya menghayati ajaran Islam dalam hidupnya dengan bahagia, berkeluarga, bermasyarakat, bertamadun, serta mendapat kesejahteraan selepas matinya.
            Pada zaman Rasulullah s.a.w. dan zaman sahabat tiak terdapat disiplin ilmu seperti di atas.  Yang ada pada masa itu ialah Al-Quran dan Sunnah Rasul s.a.w.  Semua itu sumber ilmu Islam, dan tidak pun disebut sebagai ilmu Tauhid, Feqah dan sebagainya.  Apabila membincangkan konsep ketuhanan, tentang kepercayaan kepada Allah dan hari Akhirat, maka itu Tauhid-lah namanya.  Apabila membaca ayat Al-Quran atau hadis Nabi s.a.w. yang menceritakankan tentang hal ibadat zahir, maka dari segi ilmu,  Feqah-lah namanya.  Demikianlah dengan yang lain.
            Selepas zaman sahabat, dan setelah ramai orang yang bukan Arab memeluk agama Islam, maka ulama mula merumuskan isi Al-Quran dan hadis dalam bentuk matan seperti yang ada sekarang.  Kitab hadis Imam Malik, Al-Muwatta, disusun mengikut tertib ilmu Feqah, iaitu bermula dengan hukum bersuci, solat dan seterusnya.  Beliau adalah golongan Tabi’in (golongan selepas sahabat).   Hingga ke hari ini, kebanyakan negara Islam  mempelajari Islam dalam bentuk ini.  Mana-mana kitab Feqah kita dapati sekarang disusun fihrisnya mengikut susunan ini
             Menuntut ilmu itu wajib ke atas setiap muslim.  Ini adalah berdasarkan sabda Nabi s.a.w. 

طلب العلم فريضة على كل مسلم

        Maksudnya:  “Menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas tiap-tiap orang Islam”
            Riwayat Ibnul Abdil Barr.
            Timbul persoalan; apakah ilmu yang wajib dituntut? Adakah ilmu agama sahaja atau ilmu-ilmu lain?  Dalam perbincangan ulama, Al-Ghazali (1988) menyebutkan bahawa kerana adanya Alif  Lam pada perkataan itu  ( العلم  ) maka ia menjadi ma’rifah.  Jadi ilmu yang wajib dituntut itu ialah ilmu agama sahaja.  Ilmu lain tidak sampai ke martabat wajib.  Walau pun demikian, Al-Ghazali (1975) membahagikan wajib itu kepada dua jenis, iaitu Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah.  Ilmu Fardhu Ain ialah segala macam ilmu untuk mengenal Allah, mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui perkara ghaib, mengetahui cara beribadat, halal dan haram, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan menjaga hati dan amalan hati, seperti sabar, ikhlas, hasad, ujub, takabur dan sebagainya.    Di sinilah lahir istilah-istilah ilmu Tauhid, Feqah dan Tasawuf.  Di tampat yang lain  Al-Ghazali (1988) mengistilahkan dengan ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.  Semua ini dipanggil Ilmu Syara’.
            Ilmu Fardhu Kifayah ialah ilmu yang perlu diketahui untuk keperluan dan keselesaan hidup di dunia.  Tanpanya manusia menempuh kesusahan dan tidak dapat menyempurnakan tuntutan Fardhu Ain.  Contohnya seperti ilmu perubatan, kejuruteraan, perindusterian, matematik, ekonomi, politik dan lain-lain.
            Maksud Fardhu Kifayah ialah cukup jika ada seorang daripada satu kumpulan orang Islam yang belajar ilmu itu dan semua orang dalam kumpulan itu terlepas daripada dosa.  Sebaliknya jika tidak ada seorang pun dalam kumpulan itu yang mengetahui ilmu ini, maka semua orang dalam kumpulan itu berdosa (Al-Ghazali, 1988).
            Perlu dijelaskan iaitu, yang dikatakan Fardhu Kifayah ialah tuntutan untuk menuntut sesuatu ilmu itu, tetapi apabila telah menceburi di dalamnya ia menjadi Fardhu Ain.  Bandingannya ialah seperti solat.  Mendirikan solat sunat hukumnya sunat, tetapi apabila mengerjakannya maka wajib mengerjakan semua rukunnya dengan sempurna.  
            Dalam sistem pendidikan negara ini telah diajar kedua-dua jenis ilmu ini; Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah.  Tetapi kefahaman tentang konsepnya masih kabur.  Pelajaran agama yang diajarkan dalam sekolah itu dikatakan Fardhu Ain, pelajaran lain dikatakan Fardhu Kifayah.  Pada hemat penulis, pelajaran agama yang dipelajari di sekolah itu belum lagi sempurna Fardhu Ain, malah ia merupakan asas Fardhu Ain.  Sebab itu Kementerian Pendidikan menamakan salah satu programnya bagi pelajar-pelajar Tahun 6, Tingkatan 3 dan Tingkatan 5 dengan Penilaian Asas Fardhu Ain.  Maknanya, yang dipelajari itu baru asas Fardhu Ain, belum lagi Fardhu Ain yang sebenarnya. (Lihat Buku Panduan Penilain Asas Fardhu Ain (PAFA) oleh Kementerian Pendidikan Malaysia, 1994).
            Menurut Al-Ghazali (1988), ilmu Fardhu Ain itu ialah ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim semasa ia hendak melakukan sesuatu yang wajib.  Sesuatu yang wajib itu janganlah disempitkan kepada solat, puasa dan haji sahaja, malah banyak lagi perkara wajib yang kita lakukan setiap hari.
            Contohnya, membaca Al-Quran itu hukumnya sunat, tetapi bila membaca wajib betul sebutan makhraj dan sifat huruf serta barisnya. Untuk dapat menyebut dengan betul, wajib belajar kepada gurunya yang muktabar, maka timbullah di sini ilmu Tajwid.  Dengan itu bermakna, belajar ilmu Tajwid itu wajib apabila hendak membaca Al-Quran.  
            Berniaga adalah sunnah Rasul s.a.w., bekerja sebagai penaiaga ialah mencari nafkah, mencari nafkah adalah wajib hukumnya.  Hendak berniaga wajib ada ilmu.  Jadi, pada masa itu ia wajib belajar ilmu perniagaan.  Ilmu perniagaan di sini bukan bermaksud ilmu tentang untung rugi, ekonomi, simpan kira dan sebagainya, sebaliknya  ia bermaksud ilmu syariat.  Iaitu ilmu yang membicarakan tentang apa jenis benda yang boleh diperniagankan dan apa yang tidak boleh, apakah perniagaan itu ada unsur riba atau tidak, dan banyak lagi perkara yang berkaitan yang perlu di ketahui.
            Menjadi pentadbir, ahli politik, doktor, pegawai, jurutera, guru dan sebagainya, bukan wajib.  Asalnya Fardhu Kifayah, tetapi apabila telah mencebur diri di dalamnya ia menjadi Fardhu Ain. Kerana bekerja itu Fardhu Ain, sebab mencari nafkah. Semasa menjalankan tugas wajib menjalankannya dengan betul, jika tidak betul ia berdosa dan pendapatannya haram, untuk mengetahui betul atau tidak perlu ada ilmu, untuk mendapat ilmu kena belajar.  Jadi belajar itu Fardhu Ain, kerana hendak beramal, yakni bekerja mengikut syariat Islam.  Dan ilmu yang dipelajari pada masa itu ialah ilmu Fardhu Ain.
            Belajar di sini ialah untuk mengetahui apa perkara yang mesti dibuat semasa kita bekerja  dan apa pula perkara yang tidak boleh dilakukan, iaitu yang dilarang oleh syariat.  Inilah yang dikatakan ilmu Fardhu Ain, iaitu ilmu yang mesti diketahui oleh setiap orang Islam apabila ia hendak melakukan sesuatu perkara yang wajib.
            Semua ilmu ini (Fardhu Ain, Fardhu Kifayah dan Tahsiniyat) termasuk dalam bidang pendidikan Islam.  Iaitu mendidik setiap muslim, sama ada guru, kerani, polis, askar, pentadbir, jurutera, pegawai, petani, peniaga, pemimpin dan bermacam-macam jenis pekerjaan lagi, supaya menjadi seorang muslim yang beriman dan beramal, dan terdidik dengan pendidikan Islam.  Ia faham Islam, faham tuntutan Islam dan menghayatinya.  Ia faham tentang amanah yang diberikan kepadanya dan melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab.  Dan ia juga faham dan sedar bahawa setiap perbuatannya akan dibicarakan di hadapan Allah nanti di hari Kiamat.
            Inilah maksud pendidikan Islam seperti yang disebutkan oleh Al-attas (1979) dan Burlian Somad (1981).  Persoalannya ialah, apakah pendidikan Islam dalam sistem pendidikan hari ini menuju ke arah itu?  Atau pun masyarakat, termasuk golongan guru, masih kabur terhadap konsep dan kefahaman ini?
            Masyarakat guru, samada guru Agama atau bukan guru Agama, harus faham dengan sejelas-jelasnya konsep pendidikan Islam.  Jika betul-betul diamati dan difahami kita yakin bahawa semua guru yang beragama Islam ialah guru pendidikan Islam.  Pekerja dalam kawasan sekolah, kerani dan pengendali kantin juga pendidik Islam. Mereka sama-sama bertanggungjawab untuk mendidik murid atau pelajar yang beragama Islam di sekolah menjadi orang Islam. Seluruh orang dalam masyarakat, di rumah, di kedai, di dewan, di tempat kerja dan lain-lain adalah agen-agen pendidikan Islam dan  bersama-sama bertanggungjawab dalam pendidikan Islam, dalam erti kata menghidupkan iklim Islami, atau penghayatan Islam.  Maksudnya, jika ada sesuatu amalan atau pelakuan orang Islam yang terang menyalahi ajaran Islam, maka wajib membetulkannya dan menasihat.  Jika tidak dilakukan kita adalah bersalah dengan Allah Taala. Manakala guru Agama bertanggungjawab memberi ilmu Agama, kerana merka dipercayai mempunyai ilmu Islam yang mencukupi untuk tujuan pengajaran dan diberi tauliah untuk tujuan tersebut, dan dalam masa yang sama mereka juga mendidik. 
            Jika ini dapat difahami dengan saksama dan   dijalankan dengan baik dan teratuar, pendidikan akan dapat berjalan dengan cukup berkesan di sekolah dan dalam masyarakat.  Lanjutan daripada itu banyak masalah disiplin di sekolah dan dalam masyarakat dapat dikurangkan, kalau pun tidak dapat dihapuskan kesemuanya.
            Dengan cara inilah diharapkan matlamat pendidikan Islam akan tercapai dan masyarakat Islam akan maju seperti yang pernah berlaku pada kurun pertama dan kedua hijrah duhulu.

Apa Itu Ilmu?
DEFINISI
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988) memiliki dua pengertian,yaitu:
1. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
2. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan :
Ilmu : merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan menggunakan metode-metode tertentu.
KARAKTERISTIK ILMU
  • Menurut Randall dan Buchker (1942) mengemukakan beberapa ciri umum ilmu diantaranya :
    • 1. Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.
    • 2. Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan karena yang menyelidiki adalah manusia.
    • 3. Ilmu bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode ilmu tidak tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi.
Menurut Ernest van den Haag (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-ciri ilmu, yaitu : 1. Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal (rasio). 2. Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman oleh panca indera. 3. Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia tanpa terkecuali. 4. Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian selanjutnya.
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ILMU DENGAN FILSAFAT
Ø      Perbedaan
  • Ilmu bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek formalnya. filsafat bersifat pengetahuan sinopsis artinya melihat segala sesuatu dengan menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan memiliki sifat tersendiri yang tidak ada pada bagian – bagiannya.
  • Ilmu bersifat deskritif tentang objeknya agar dapat menemukan fakta – fakta, netral dalam arti tidak memihak pada etnik tertentu. Filsafat tidak hanya menggambarkan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan – putusan tentang tujuan, nilai –nilai, dari tentang apa –apa yang harus diperbuat manusia. Filfat tidak netral, karena faktor – faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam berfilsafat.
  • Ilmu mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang tidak perlu diuji, sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan kembali asumsi –asumsi yang telah ada untuk dikaji ulang tentang kebenaran asumsi.
  • Ilmu menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji dalam praktik berdasarkan metode –metode ilmu yang empiris. Selain menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat juga menggunakan hasil – hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada semua pengalaman insani,sehingga dengan demikian filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh ilmu
Ø      Persamaan
  • Filsafat dan ilmu, keduanya menggunakan metode berpikir reflektif ( refflectife thinking ) dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup.
  • Filsafat dan ilmu, keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisasi dan tersusun secara sistematis.
·         Ilmu membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan- bahan deskriktif dan faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat.
·         Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan pengetahuan ilmiah
·         Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam ilmu dan yang berbeda serta menyusun bahan-bahan tersebut kedalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia dan menyeluruh dan terpadu.
HUBUNGAN ILMU DENGAN FILSAFAT
Dasar manusia mencari dan menggali ilmu pengetahuan bersumber kepada tiga pertanyaan. Sementara filsafat ,memepelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Untuk mengingatkan ketiga pertanyaan itu adalah:
1. Apa yang ingin kita ketahui?
2. Bagaimana cara kita memeperoleh pengetahuan?
3. Apakah nilai (manfaat) pengetahua tersebut bagi kita?
Pertanyaan pertama di atas merupakan dasar pembahasan dalam filsafat dan biasa disebut dengan ONTOLOGI , pertanyaan kedua juga merupakan dasar lain dari filsafat, disebut dengan EPISTEMOLOGI dan pertanyaan terakhir merupakan landasan lain dari filsafat yang disebut dengan AXIOLOGI. Ketiga hal di atas merupakan landasan bagi filsafat dalam membedah setiap jawaban dan seterusnya membawa kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Hal ini juga berlaku untuk ilmu pengetahuan, kita mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.
Untuk memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu pengetahuan adalah sbb. :
ü      Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
ü      Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama
ü      Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
ü      Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati adalah kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.
Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang dinamis , tersusun sebagai teori-teori yang saling mengeritik, mendukung dan Teori
TEORI
§         Teori merupakan pengetahuan ilmiah mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari suatu disiplin ilmu, dan dianggap benar
§         Teori biasanya terdiri dari hukum-hukum, yaitu : pernyataan ( statement ) yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau lebih
§         Teori memerlukan tingkat keumuman yang tinggi, yaitu bersifat universal supaya lebih berfungsi sebagai teori ilmiah

Tiga syarat utama teori ilmiah :
o       Harus konsisten dengan teori sebelumnya
o       Harus cocok dengan fakta-fakta empiris
o       Dapat mengganti teori lama yang tidak cocok dengan pengujian empiris dan fakta bertumpu untuk mendekati kebenaran
Beberapa istilah yang biasa digunakan dalam komunikasi ilmu pengetahuan :
·        Axioma
Pernyataan yang diterima tanpa pembuktian karena telah terlihat kebenarannya
·        Postulat
Suatu pernyataan yang diterima “benar” semata-mata untuk keperluan berkomunikasi
·        Presumsi
Suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai benar walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar
·        Asumsi
Suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya maupun kemungkinan benar tidak tinggi
Filsafat Ilmu Pengetahuan selalu memperhatikan : dinamika ilmu, metode ilmiah, dan ciri ilmu pengetahuan.
  • Dinamis : dengan aktivitas/perkembangan pengetahuan sistematik dan rasional yang benar sesuai fakta dengan prediksi dan hasil ada aplikasi ilmu dan teknologi, dinamika perkembangan karena ilmu pengetahuan bersimbiose dengan teknologi
  • Metode Ilmiah : dengan berbagai ukuran riset yang disesuaikan.
  • Ciri Ilmu : perlu memperhatikan dua aspek, yaitu : sifat ilmu dan klasifikasi ilmu
ASPEK AKSIOLOGI
Tujuan dasarnya : menemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah Contohnya : Pada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian laboratorium dengan simulasi berbagai variasi kadar air ternyata terbukti bahwa teori tersebut benar.

Menurut Al-Amiri
Pengertian Ilmu
Sebagaimana akan terlihat dalam paparan di bagian ini, al-‘Amiri telah menjelaskan berbagai subjek epistemologi, seperti kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan, karakter dan cara memperoleh pengetahuan, dan kriteria kebenaran. Lebih dari itu, dia juga membahas relasi antara pengetahuan atau ilmu dengan perbuatan dan faidah-faidah berbagai ilmu dalam kajiannya tentang harmonisasi antara filsafat dengan agama.
Al-‘Amiri mendefinisikan ilmu sebagai “Penguasaan tentang sesuatu sebagaimana adanya tanpa kesalahan atau penyimpangan. Ilmu terbagi dua, relijius (al-milli>) dan filosofis (al-hikmi>). Pemilik ilmu relijius adalah para nabi yang terpilih, sedangkan pemilik ilmu filosofis adalah para filsuf yang terlatih. Semua nabi adalah filsuf, tapi tidak semua filsuf adalah nabi.
Berdasarkan definisi ini, al-‘Amiri memandang bahwa pengetahuan yang mencapai level ilmu adalah pengetahuan yang sempurna dari berbagai aspek, yaitu pengetahuan tentang sebab-sebab pertama agar pengetahuan itu bersifat meyakinkan. Al-‘Amiri menguatkan pendapatnya dengan contoh-contoh. Misalnya, seseorang, walaupun menikmati musik, tidak disebut pemusik kecuali dia mengetahui prinsip-prinsip musik.
Al-‘Amiri meyakini kemampuan manusia untuk memperoleh ilmu. Kaum Sofis yang menyatakan manusia tidak mungkin mencapai satu hakikat dia sebut sebagai orang-orang yang mengingkari hakikat yang ditangkap indera maupun akal. Selain itu, pada masanya, ada juga sekelompok Ahli Teologi yang bersikap seperti Kaum Sofis. Mereka adalah orang-orang yang kecewa dengan perdebatan para teolog dari berbagai aliran dalam masalah-masalah teoritis. Tentang kelompok yang terakhir ini, di dalam buku al-Amad ‘ala al-Abad, seperti dikutip Mona Abu Zayd, al-‘Amiri mengatakan, “Ketika mereka melihat isi dan makna pendapat yang dilontarkan kedua belah pihak bertentangan satu sama lain, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk menilai dan membedakan antara pendapat yang sahih dengan tidak sahih, mereka memutuskan bahwa semuanya salah.
Instrumen Dan Jenis Ilmu
Al-‘Amiri mengatakan bahwa instrumen pengetahuan ada empat macam, yaitu aksioma akal, eksperimen, wahyu, dan quwwah sina>‘ah mutaqaddimah.[26] Sedangkan cara manusia memperoleh pengetahuan, menurut al-‘Amiri, ada tiga, yaitu taqlid, persuasi (iqna>‘), dan demonstrasi (burha>n). Cara yang menjadi subjek kajian al-‘Amiri adalah yang ketiga, cara memperoleh pengetahuan yang disebut al-‘Amiri, “Sangat sulit karena validasinya tergantung pada premis-premis aksiomatis yang benar.
Orientasi epistemologis al-‘Amiri adalah gabungan antara empirisme dengan rasionalisme. Dia menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh baik dengan akal maupun indera. Pengetahuan inderawi adalah pengetahuan tentang hal-hal yang menjadi objek indera (mahsu>sa>t), sedangkan pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang subjeknya adalah genus dan spesies. Untuk menguatkan pandangan ini, al-‘Amiri mengkritik baik aliran Empirisme maupun Rasionalisme
Klasifikas Ilmu
Dalam perkataan al-‘Amiri tersebut, dia mengklasifikasi ilmu menjadi dua bagian utama, yaitu ilmu-ilmu rasional (al-‘ulu>m al-hikmiyyah) dan ilmu-ilmu relijius (al-‘ulu>m al-milliyyah). Ghurab mengatakan bahwa meskipun al-‘Amiri mendalami ilmu-ilmu filosofis sehingga dia dijuluki Filsuf Nishapur, tapi inti pengetahuannya adalah ilmu-ilmu Islam seperti terlihat dalam penjelasannya tentang klasifikasi ilmu.Pandangan ini diisyaratkan juga oleh Nasr yang mengatakan
Ø      Ilmu filosofis
Al-‘Amiri menyebut ilmu-ilmu filosofis dengan istilah al-‘ulum al-hikmiyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m al-hikmiyyah adalah ilmu-ilmu yang mencakup metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu empiris, seperti aritmetika, geometri, astronomi, mekanika, dan ilmu-ilmu fisika yang mencakup zoologi, botani, dan minerologi, selain ilmu kedokteran dan farmakologi.Al-‘Amiri membela ilmu-ilmu ini dan menyatakan bahwa mempelajarinya adalah wajib. Dalam pembelaannya, dia menekankan:
1.      Wahyu selaras dan tidak bertentangan dengan akal.
2.      Islam menyerukan ilmu yang bermanfaat apa pun jenisnya.
3.      Kajian terhadap ilmu matematika dan ilmu empiris menjelaskan bahwa penciptaan dan    pengaturan alam semesta tidak berbasis kebetulan, kekacauan, atau kesia-siaan, tapi berbasis keteraturan, kebijaksanaan, dan berdasarkan hukum yang tidak berubah-ubah, sehingga ilmu ini akan menolong pengkajinya untuk menemukan hikmah penciptaan berbagai makhluk dan hukum kausalitas yang mengatur keberadaan, fungsi, dan relasi makhluk-makhluk itu.
4.      Metode ilmu-ilmu ini adalah demonstratif sehingga jiwa kirits umat Islam akan terlatih dan mereka tidak menerima klaim tanpa dalil dan pernyataan tanpa bukti, sehingga iman mereka akan berdasar pada penerimaan dan pemahaman, dan bukannya taklid buta.
5.      Mempelajari ilmu-ilmu ini jelas memberikan manfaat bagi umat manusia secara umum dan umat Islam secara khusus
Ø      Ilmu Relijius
Al-‘Amiri menyebut ilmu relijius atau ilmu keagamaan dengan istilah al-‘ulum al-milliyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m al-milliyyah adalah ilmu-ilmu agama Islam, yaitu seperti yang dia sebutkan sendiri, ilmu hadith, ilmu fikih, ilmu kalam, dan ilmu bahasa dan sastera. Al-‘Amiri juga seorang pakar dalam ilmu-ilmu ini dan dia membelanya dengan pembelaan yang sangat indah. Pertama, secara umum, ketika membahas ilmu-ilmu ini secara umum, yakni tentang dasar-dasarnya, keterikatannya dengan wahyu, dan khidmatnya bagi agama, al-‘Amiri menegaskan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan ilmu-ilmu yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya. Dia mengemukakan tiga alasan:
ü      Ilmu-ilmu ini dapat meneguhkan keyakinan dan penghambaan manusia kepada Allah dengan mengenalkan agama yang benar. Sebab, manusia tidak akan dapat menunaikan hak-hak Allah kecuali dengan mengetahui agama-Nya yang benar.
ü      Ilmu-ilmu ini tidak hanya memenuhi kebutuhan individual, tapi juga kebutuhan masyarakat, bahkan umat manusia, karena ilmu-ilmu ini bertujuan kebaikan secara universal dan mengupayakan manfaat yang meliputi seluruh makhluk.
ü      Ilmu-ilmu ini lebih utama daripada ilmu-ilmu rasional karena ilmu-ilmu rasional berbasis akal manusia yang dapat salah dan sesat, sedangkan ilmu-ilmu ini berbasis pada pondasi yang meyakinkan dan bersumber pada cahaya wahyu ilahi yang tidak dapat diragukan dan tidak mungkin terjadi kesalahan atau kelupaan padanya.


Kesimpulan:
            Pandangan epistemologis al-‘Amiri tentang ilmu dan klasifikasinya telah menjadi jembatan pemikiran antara al-Kindi dan al-Farabi dengan Ibnu Sina dan memberikan dasar-dasar pemikiran yang kuat untuk harmonisasi akal dengan wahyu yang akan menjadi ciri khas mayoritas filsuf muslim pada abad-abad berikutnya. Gagasannya tentang ilmu ini juga mendasari sistem pemikiran al-‘Amiri secara umum terutama pada saat dia menguraikan pandangannya tentang manusia dan pada saat dia mengkomparasi ajaran Islam dengan ajaran agama-agama lain.

Klasifikasi Ilmu Menurut Imam al-Ghazali

KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI
   
            Topik ini mula diberi perhatian oleh Imam al-Ghazali setelah beliau mendapati sebahagian daripada ilmuan Islam dari pelbagai bidang disiplin ilmu seperti ilmu kalam [tawhid], fiqh, tasawuf, tafsir dan hadith bercanggah pendapat tentang bidang-bidang ilmu yang wajib dikuasai oleh setiap individu Islam.
            Berdasarkan sabda Nabi Muhammad (s.a.w) yang bermaksud “Menuntut ilmu adalah fardhu yang diwajibkan ke atas setiap individu Islam”. Imam al-Ghazali menimbulkan persoalan tentang ilmu; adakah menuntut ilmu itu fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah atas individu Islam ?
            Berpandukan persoalan tersebut Imam al-Ghazali telah mengkalsifikasikan ilmu kepada dua bahagian utama iaitu :
a) Ilmu Mu‘amalah.
            Ilmu mu‘amalah dimaksudkan sebagai suatu ilmu yang diperolehi manusia samada melalui utusan Allah, akal [pembelajaran], pengalaman dan pendengaran. Pada asasnya ilmu tersebut [mu‘amalah] tiada sebarang perbezaan melainkan menerusi nama-nama khas yang dberikan kepadanya seperti ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah oleh para ilmuan Islam.
     
Ilmu mu‘amalah menurut beliau terbahagi kepada dua bahagian iaitu :

1-      Ilmu fardhu ‘ain.
Ilmu fardhu ‘ain secara ringkas dimaksudkan sebagai ilmu tentang asas-asas agama Islam seperti mengucap syahadah, menunaikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan fardhu haji bagi yang berkemampuan. Ia merupakan suatu ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu Islam kerana menerusi ilmu pengetahuan tersebut individu Islam dapat melaksanakan segala tuntutan yang ditaklifkan samada berbentuk iktikad [kepercayaan], melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Ilmu fardhu ‘ain hanya diperolehi menerusi utusan Allah iaitu para rasulNya.
2-      Ilmu fardhu kifayah.
Ilmu fardhu kifayah menurut ajaran Islam merupakan suatu ilmu yang perlu dikuasai oleh sebahagian manusia yang mendiami sesebuah kawasan, daerah atau negeri. Hukum mempelajari ilmu fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain apabila tiada seseorang pun di sesebuah kawasan, daerah atau negeri mengetahui tentang sesuatu ilmu seperti ilmu perubatan, pertanian, pembinaan, pengiraan dan sebagainya. Ilmu fardhu kifayah juga dimaksudkan sebagai ilmu yang berhubung kait dengan kehidupan sosial. Ilmu tersebut terbahagi kepada tiga bahagian iaitu :
Ø      Terpuji
Ilmu terpuji adalah ilmu yang bermanfaat kepada kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Menurut Imam al-Ghazali ilmu terpuji merangkumi dua kategori iaitu :
                        a)      Ilmu syariah.
Ilmu syariah hanya dapat diperolehi menerusi utusan Allah atau dalam kata lain ilmu yang tak tercapai oleh akal, pengalaman dan pendengaran untuk mengetahuinya seperti ilmu tentang hari kiamat.
b)      Ilmu umum.
Ilmu umum pula mampu diperolehi manusia menerusi akal (pembelajaran), pengalaman dan pendengaran seperti ilmu bahasa dan ilmu perubatan.
Ø      Harus.
Ilmu yang harus dipelajari oleh manusia adalah seperti ilmu-ilmu kesusasteraan, sejarah dan sebagainya.
Ø      Tercela.
Ilmu tercela merupakan ilmu yang dilarang kepada manusia untuk mempelajarinya seperti ilmu sihir dan sebagainya.

b) Ilmu Mukasyafah.
            Ilmu mukasyafah merupakan suatu ilmu yang hanya diperolehi oleh manusia menerusi ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya setelah melalui peringkat-peringkat tertentu dalam amalannya. Ilmu ini lebih dikenali di kalangan ahli-ahli tasawuf sebagai ilmu ladunni.
      Pembahagian ilmu-ilmu tersebut adalah berdasarkan kepada pemerhatian Imam al-Ghazali tentang :
a)      Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada manusia dari segi penggunaanya seperti ilmu bahasa.
b)      Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada kehidupan beragama manusia.
c)      Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada kehidupan manusia di dunia seperti ilmu perubatan dan pengiraan.
d)     Sejauhmanakah kesan ilmu-ilmu tersebut dalam memberi ilmu pengetahuan dan keseronokan kepada manusia seperti ilmu kesusasteraan dan ilmu sejarah.
      Menurut Imam al-Ghazali dasarnya sesuatu ilmu tidak tercela sehinggalah ilmu tersebut :
1-      Mendatangkan kemudaratan ke atas diri orang yang mempelajarinya serta orang lain.
2-      Mendatangkan lebih banyak kemudaratan kepada penuntutnya.
3-      Tidak memberikan sebarang faedah kepada penuntutnya mahupun orang lain.
           
Berdasarkan kepada klasifikasi ilmu yang diberikan oleh Imam al-Ghazali ilmu fardhu ‘ain merupakan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu Islam. Manakala lain-lain ilmu adalah berdasarkan kepada sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada kehidupan individu ataupun masyarakat di dunia dan di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar