Sabtu, 17 Desember 2011

MITOS

Keris, Lambang Kedigdayaan Ksatria Nusantara

Jakarta,Di pendopo agung Keraton Singosari, tiga prajurit utusan Kubilai Khan meminta kerajaan-kerajaan di Jawa takluk dan membayar upeti. Saat itu, ketangguhan pasukan berkuda Mongolia tidak tertandingi. Konon, mendengar namanya saja para raja gemetar ketakutan.Prabu Kertanegara tahu hal ini. Raja Singosari ini juga tahu akibatnya jika menolak permintaan Kubilai Khan. Tapi dia tahu kedaulatan dan harga diri memang harus dijaga dengan darah dan nyawa. Seluruh pendopo pun hening, terdiam menunggu keputusan sang raja.Raja gagah keturunan Ken Arok itu berjalan mendekati utusan Mongol yang sombong. Mereka jumawa, merasa tidak pernah terkalahkan di kolong langit.

            Dengan ringan, Kertanegara mencabut keris pusaka Singosari dari warangkanya. Lebih cepat dari kilat, keris itu menebas telinga Meng Ki, salah satu utusan Negeri Mongol. Ini jawaban Kertanegara atas penghinaan Mongol.Tanpa bicara, kerisnya sudah bicara. Singosari menolak tunduk pada Mongol. Rakyat Singosari tidak gentar pada tentara Mongol yang katanya tidak terkalahkan. Silakan datang, maka seluruh ksatria Singosari akan melawan.Siapa sangka jika adegan di abad ke-13 itu turut menentukan alur berdirinya bangsa Indonesia. Jika saat itu, Kertanegara memilih tetap menyarungkan kerisnya, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Mungkin Majapahit sebagai penerus Singosari tidak akan pernah berdiri. Tidak akan ada kisah Hayam Wuruk serta Gajah Mada dan Sumpah Palapa.

Tapi hari itu adalah takdir, sudah menjadi keinginan yang Kuasa Kertanegara mencabut kerisnya.Sama seperti filosofi keris. Baik bilah lurus atau luk, semuanya memiliki ujung tajam yang mengarah ke atas. Melambangkan semua kehidupan ini mengarah pada satu tujuan akhir, takdir dan akhirat.Keris pada masanya adalah pelengkap kehidupan masyarakat. Bukan hanya di Jawa, keris digunakan di seluruh Nusantara. Di Bali, Kalimantan, Sumatera, hingga Sulawesi. Sehingga salah jika mengidentikan keris dengan budaya Jawa.Keris adalah budaya Nusantara. Keris sama tuanya dengan kebudayaan logam di Nusantara. Tahun 1416, Ma Huan salah satu anggota ekspedisi Cheng Ho menyebutkan dalam catatannya, orang-orang Majapahit selalu mengenakan belati yang diselipkan pada ikat pinggang. Ma Huan cukup kagum dengan belati khas Jawa yang diketahui sebagai Keris. Dalam catatannya dia menjelaskan belati itu ditempa dengan baik dan diukir dengan indah. Hal ini menunjukan saat itu, para pandai besi di Indonesia sudah memiliki kemampuan yang tinggi.

Kisah lain diceritakan oleh seorang penjelajah Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16. Dia menuliskan keris digunakan oleh setiap pria di Pulau Jawa. Tidak peduli miskin atau kaya, mereka pasti memiliki sekurangnya sebilah keris."Setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya. Tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal," tulis Pires.Keris untuk masyarakat kebanyakan mungkin ditempa dari besi atau baja biasa. Tapi bagi para ksatria dan bangsawan, hanya logam terbaik yang dicampur untuk bahan dasarnya. Diketahui ada beberapa keris yang dibuat dari batu meteorit yang memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga.

            Para ksatria dan bangsawan hanya memesan keris dari pandai besi yang dipanggil empu. Hanya empu terbaik yang mampu menghasilkan keris terbaik. Saat itu membentuk sebongkah logam menjadi keris tidak hanya melibatkan bara dan palu, tapi jiwa dan semangat. Pembuatannya pun bukan dalam hitungan minggu, tetapi tahunan.Siapa yang tidak kenal dengan kisah Empu Gandring dan keris pesanan Ken Arok. Keris itu pula yang menjadi alat pembantu berdirinya dinasti Rajasa, yang menurunkan silsilah raja-raja Jawa. Sejarah mencatat, hidup para pelaku dinasti ini harus berakhir tragis di ujung keris yang sama.Keris secara garis besar terdiri dari bilah atau daun keris. Ini adalah bagian paling penting dari sebuah keris. Selain itu ada hulu atau pegangan, ganja atau penopang dan warangka atau sarung keris. Bentuk bilah atau dhapur keris mencerminkan estetika dan identitas keris itu. Bilah keris terbagi dua, yang lurus atau berkelok atau luk. Luk selalu berjumlah ganjil, tidak pernah genap. Paling sedikit ada tiga lekukan, paling banyak 13 lekukan. Jika lebih atau kurang dari itu dianggap tidak lazim.

            Sedangkan hulu dan warangka biasanya terbuat dari kayu, logam atau gading. Seringkali dihias dengan logam mulia dan batu berharga, sesuai tingkat sosial pemiliknya. Sama seperti bilah, kedua bagian ini juga sering dihias indah.Keris yang dibuat untuk kalangan keraton seringkali ditambahi gelar Kyai. Biasanya ada kondisi tertentu yang melatarbelakangi pembuatan sebuah keris di keraton. Tidak hanya ancaman peperangan, kondisi sosial politik pada masa itu juga bisa dijadikan acuan pembuatan keris. Latar belakang seperti ini dinamakan tangguh keris. Ada juga keris yang sejak awal pembuatannya menyiratkan keberuntungan atau kesialan bagi pemiliknya.

Kyai Condong Campur misalnya, sebuah keris pusaka milik keraton Majapahit. Condong Campur merupakan suatu perlambang keinginan untuk menyatukan perbedaan. Condong berarti miring yang mengarah ke suatu titik, yang berarti keberpihakan atau keinginan. Sedangkan campur berarti menjadi satu atau perpaduan. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan masyarakat Majapahit yang heterogen. Seperti diketahui, Majapahit saat itu menguasai seluruh Nusantara dengan banyak kerajaan kecil dan suku-suku di bawahnya. Muncullah keinginan untuk menyatukan berbagai perbedaan ini.Ada lagi kisah Keris bernama Keris Kyai Setan Kober. Sejak awal keris pusaka ini diramalkan akan membawa kesialan dan petaka bagi pemiliknya. Keris ini milik Arya Penangsang atau Arya Jipang, bupati Jipang Panolan yang dikenal sakti madraguna. Dialah yang membunuh Sultan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549.Arya Jipang lalu bertempur dengan Danang Sutawijaya, yang kelak menjadi Sultan Mataram yang pertama. Saat itu pertempuran berjalan sengit. Tombak Sutawijaya berhasil melukai perut Arya Jipang, hingga ususnya terburai. Tapi Arya Jipang masih melawan, ususnya yang keluar dari perut, dibelitkannya ke warangka keris pusaka miliknya. Arya Jipang terus memberikan perlawanan sengit. Namun saat mencabut keris Kyai Setan Kober, keris ini malah menyobek ususnya sendiri.

            Sutawijaya kagum dengan keperkasaan Arya Jipang. Untuk menghormati lawannya itu, Sutawijaya membelitkan melati pada warangka kerisnya. Melati melambangkan usus Arya Jipang yang terburai. Gaya busana itu masih digunakan hingga kini, setiap pengantin Jawa merangkaikan melati pada kerisnya. Ini sebenarnya diilhami dari kematian Arya Jipang yang tewas karena kerisnya sendiri.Keris pun digunakan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Pangerang Diponegoro memiliki beberapa keris pusaka. Salah satunya adalah Kyai Omyang. Keris ini memiliki 21 luk atau lekukan, dipercaya merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kini keris tesebut ditaruh di Museum Sasana Wiratama, Yogyakarta.

            Cerita kedigjayaan para ksatria dengan kerisnya memang tinggal masa lalu. Senapan dan mesiu menggantikan fungsi keris sebagai senjata. Ilmu kanarugan dan silat, perlahan terkikis bela diri dari luar negeri semacam krav maga dan yongmodo. Tapi bukan berarti keris punah.Fungsi budaya keris sebagai mahakarya budaya Indonesia terus hidup. Kini keris sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.Korps Marinir TNI AL memasukan keris dalam logo pasukan baret ungu tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tupoksi pasukan Marinir untuk melakukan penyerbuan amphibi dari laut. Beberapa kesatuan TNI yang lain juga melakukan hal yang sama."Keris dan ombak melambangkan Marinir adalah penusuk dari laut," ujar Komandan Korp Marinir saat itu, Mayjen Djunaidi Djahri di Mabes AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (4/11/2008).

Keris masih digunakan sebagai pelengkap busana tradisional. Dalam busana pengantin Jawa, pengantin laki-laki didandani seperti bangsawan, lengkap dengan keris di punggungnya.Di kalangan budayawan dan kolektor, keris-keris pusaka masih terus diburu. Harganya mencapai puluhan juta, hingga ratusan juta. Semakin baik dan semakin tua keris, harganya tentu makin mahal. Namun harga bukan masalah bagi para kolektor ini. Mendapatkan keris yang baik lebih tak ternilai harganya.


            Fadli Zon salah satunya. Politisi dan budayawan ini mengoleksi ratusan keris dan barang-barang kuno lainnya. Ratusan keris itu tersimpan rapi di Fadli Zon Library di bilangan Benhil, Jakarta Pusat. Koleksi kerisnya berasal dari seluruh Nusantara, mulai keris Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur ada di sini. Beberapa keris sudah berusia ratusan tahun. Harganya? Mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah."Ini warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Keris ada di seluruh Nusantara. Ini merupakan budaya bangsa," kata Ketua Iluni Fakultas Ilmu Budaya UI ini saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.

            Bulan Juni 2010 lalu, pameran 'Keris for the World' digelar di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Pameran ini cukup sukses mengumpulkan keris-keris dari seantero Nusantara. Pengunjung pameran juga cukup ramai, bukan hanya kolektor dan budayawan, tetapi juga masyarakat umum. Ke depan tentu saja, pameran serupa perlu digelar kembali untuk semakin memperkenalkan akar budaya Indonesia ini pada masyarakat Indonesia.

            Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) juga baru saja menyelesaikan Kongres pertama di Hotel Kusuma Sahid, Solo, Kamis (21/4/2011) lalu. Mantan Menakertrans, Erman Suparno, terpilih sebagai Ketua Umum SNKI. Erman menjanjikan selama lima tahun kedepan SNKI akan menjadi organisasi legal yang tertata. Pembenahan manajemen organisasi secara multak harus dilakukan agar mampu menjadi wadah yang memadai untuk mengelola keris yang sudah diakui badan pendidikan dan sosial budaya PBB, UNESCO, sebagai warisan dunia tersebut."Pemerintah harus lebih berperan aktif turut melestarikan keris sebagai ikon wisata. Peran aktif pemerintah selama ini memang perlu dihargai sehingga mampu mengangkat keris sebagai warisan dunia, namun mestinya masih bisa ditingkatkan lagi," katanya pada wartawan.

            Keris adalah mahakarya Indonesia. Filosofis keris yang mengajarkan sifat ksatria, keluhuran budi dan keberanian, masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Termasuk menyatukan berbagai budaya tanpa menghilangkan identitas budaya tersebut. Sama seperti yang diajarkan Kyai Condong Campur, ratusan tahun lalu.


Hutan Kalijaga, Bertemunya Alam Dan Budaya

            Luas kawasan hutan Kalijaga kurang dari 5 hektar. Namun, kawasan ini menjadi istimewa karena di sinilah konservasi alam dan budaya dipadukan, selaras dengan kehidupan warganya. Jika jenuh dengan kebisingan kota, hutan Kalijaga bisa menjadi tempat pelepas lelah sejenak untuk menghirup segarnya udara.Kalijaga yang terletak di Kecamatan Harja- mukti, Kota Cirebon, memang menjadi paru-paru kota. Lokasinya hanya 1 kilometer arah selatan Terminal Harjamukti.

            Kalijaga adalah hutan satu-satunya yang tersisa di Kota Cirebon. Hutan itu menyangga kehidupan flora dan fauna. Di tempat itu tumbuh pepohonan besar, seperti kesambi, akasia, beringin, dan pohon-pohon lain yang mungkin berusia ratusan tahun.Seolah oase, saat melewati kawasan teduh ini, kebanyakan orang akan berhenti menikmati semilir angin dan kesegaran udara. Dua hal itu memang langka didapat di daerah pantura yang terik dan bersuhu udara tinggi.

            Pengunjung bisa bertahan lebih lama jika menemukan gerombolan si Bule dan kawan-kawan berjalan-jalan. Bule dan gerombolannya adalah primata penghuni hutan Kalijaga yang jinak. Mereka tak takut mendekatkan diri ke kerumunan orang, apalagi jika diberi makan kacang atau pisang.Monyet ini memang menjadi daya tarik istimewa karena tingkahnya yang unik sekaligus jinak. Pengunjung bisa memberi makan kapan saja kepada si monyet saat ia mendekat. Bahkan, pada saat-saat tertentu, seperti perayaan 17 Agustus, monyet ini diikutkan lomba panjat pinang.

            Saat pohon pinang selesai dipancang, monyet-monyet itu akan berebut naik ke pohon untuk memperebutkan kacang, pisang, hingga minuman bersoda yang dipasang oleh warga.Monyet ekor panjang ini, menurut Bambang Masadiningrat, pengelola kawasan hutan Kalijaga, memang berhabitat asli di Kalijaga, bahkan sebelum daerah itu berkembang menjadi permukiman.”Jumlahnya diperkirakan ada 41 ekor. Kelestarian hutan Kalijaga-lah yang tetap menjaga eksistensi si Bule dan kawan-kawannya,” katanya, Jumat (19/11).

Situs budaya

            Selain menjadi kawasan konservasi alam, hutan Kalijaga juga menjadi tempat konservasi budaya. Di tempat itu, salah satu tokoh wali sanga, yakni Sunan Kalijaga, memilih menyepi. Dari nama sang wali ini pula, nama hutan itu diadopsi.Petilasannya masih bisa dilihat, yakni bangunan bertembok bata merah khas bangunan kuno Cirebon. Bangunan itu masih digunakan sebagai tempat berwisata sekaligus berziarah.

            Redi Kusumadinata, pengelola petilasan, mengatakan, usia situs itu diperkirakan lebih dari 400 tahun. Bangunan asli hanya tinggal tembok dan gerbang di depan dan belakang gedung. Gerbang itu terbuat dari bata merah yang sudah miring ke depan. Pintu kayu yang terbuat dari jati masih terpasang.Meski tak lagi utuh dan sebagian sudah diperbarui, tempat ini tetap ramai dikunjungi. Pada hari libur atau saat-saat tertentu, ratusan wisatawan dari berbagai daerah berziarah atau berwisata sejarah.Situs Sunan Kalijaga inilah yang menurut Edi turut menyangga kelestarian hutan kota. Lewat kearifan lokal, warga menjaga hutan untuk menghormati ulama besar mereka.Setelah 400 tahun lebih, kawasan ini masih terjaga sebagai paru-paru kota, tempat konservasi alam dan budaya, sekaligus tempat wisata keluarga.


Misteri Kanjeng Ratu Kidul,  benarkah ada atau sekedar mitos semata?

        Hujan sepanjang hari tak ada hentinya. Niat untuk hunting foto lenyap sama sekali. Saya mengurung diri dalam kamar, berpacaran dengan laptop,  surfing kian kemari,  sampai akhirnya berhenti pada sebuah topic pembicaraan tentang warna hijau dan Nyi Roro Kidul.

           Mitos penguasa Laut Selatan ini sudah sedemikan kental dalam kultur Jawa. Antara dipercaya dan tidak dipercaya. Antara dihubungkan dengan dogma agama (dan jelas ditolak) dengan kepercayaan adat kejawen. Siapa yang tidak kenal nama Nyi Roro Kidul, sosok putri cantik mengenakan pakaian kebesaran adat Jawa (Jogja) berwarna dominan hijau gadung,  berkendaraan kereta kencana dengan ditarik kuda-kuda putih nan gagah,  melintasi gulungan ombak Laut Selatan,  menuju ke arah utara,  Gunung Merapi,  melewati Kraton,  istana Kasultanan Jogjakarta Hadiningrat,  kadang-kadang mampir ke sana-kemari,  menambah pengikut.

          Saat itulah muncul banyak penyakit yang membawa kematian. Masa-masa seperti itu lazim di sebut dengan istilah”Pageblug”. Dan kejadian ketika kereta kuda tersebut lewat (jaman dulu dipercaya bahwa saat kereta berkuda itu lewat,  terdengar bunyi kerincingan kuda di udara) disebut dengan nama”Lampor”. Orang-orang harus bergegas masuk ke dalam rumah dan memadamkan lampu (jaman sekarang ada PLN (Perusahaan Lampor Negara ??) yang memadamkan lampu),  sehingga sang Nyai tidak melihat ada orang di dalam rumah (terutama para pemuda). Hal ini sering juga dipakai sebagai alat untuk menakut-nakuti anak-anak yang nakal dan bandel tidak mau pulang dari bermain, meskipun hari telah gelap.





      Para wisatawan yang berkunjung ke pantai-pantai selatan di beri peringatan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau,  baik hijau daun maupun hijau lumut,  karena akan dianggap menyamai pakaian Sang Ratu,  dan itu jelas tidak sopan,  menyalahi tata krama,  dan sebagai akibatnya,  si pemakai harus menanggung derita menjadi pelayan atau tawanan di kerajaan Laut Selatan. Arti secara kasat mata ya si pemakai baju hijau akan hilang diseret ombak Laut Selatan.  Kadang jasadnya ditemukan dalam kondisi meninggal,  kadangkala hilang lenyap tak berbekas.

          Ada keterangan ilmiah mengenai hal ini. Warna laut di wilayah Laut Selatan adalah kehijau-hijauan,  sehingga orang yang terseret ombak akan sangat sulit ditemukan,  karena terkamuflase dengan warna air laut. Sementara itu di bawah gelombang air laut pantai selatan,  banyak terdapat pusaran-pusaran air yang tidak terlihat dari permukaan laut. Pusaran-pusaran tersebut dapat menyedot seseorang yang terlanjur terseret ombak,  sehingga kemungkinan untuk di temukan akan sulit. Oleh karena itu,  selalu ada larangan untuk berenang di Laut Selatan,  dan hampir tidak ada nelayan yang melaut di sekitar Laut Selatan,  karena ombaknuya cukup ganas dan pusaran airnya kadang tidak dapat diduga keberadaannya (berpindah-pindah tempat).

Kembali kepada Sang Ratu

           Sebagian besar orang hanya mengenal satu nama saja,  dalam hal ini,  adalah Nyi (Nyai) Roro Kidul,  sebagai sang penguasa lautan. Namun sebenarnya itu tidak benar. Kesalahkaprahan yang hampir tidak tertoleransi lagi,  karena minimnya data,  info dan sebagian orang menganggap itu hanya dongeng semata yang tidak terlalu penting di cari kebenarannya.

          Saya cukup risih dengan hal ini. Mungkin karena saya termasuk orang yang sangat mencintai budaya Jawa,  jadi agak sedikit lebih sensitive jika ada hal-hal yang kurang benar,  seperti kesalahkaprahan ini.

Nyai/ Nyi Roro Kidul TIDAK SAMA dengan Kanjeng Ratu Kidul. Nyi Roro Kidul adalah patih sang Ratu. Tugasnya adalah menjadi jubir dan beredar kian kemari melaksanakan tugas. Itu sebabnya Nyai Roro Kidul lebih di kenal dari sang Ratu dan dianggap sebagai sang Penguasa Laut Selatan.

Misteri Kanjeng Ratu Kidul,  benarkah ada atau sekedar mitos semata ?

Siapakah sesungguhnya Kanjeng Ratu Kidul itu? Benarkah ada dalam kesungguhannya,  ataukah hanya dikenal dalam dongeng saja?

Kira-kira seperti inilah data yang saya peroleh dari berbagai sumber terpercaya.

Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda

         Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19),  seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran,  Joko Suruh,  bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik,  Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh,  bernama Ratna Suwida,  menolak cintanya. Ketika muda,  Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran,  jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi,  ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

         Generasi selanjutnya,  Panembahan Senopati,  pendiri Kerajaan Mataram ke-2,  mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya,  dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan,  dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya,  hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo,  Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu,  Ratu Kidul selalu berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa,  dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

         Sementara itu menurut cerita umum,  Kanjeng Ratu Kidul pada waktu mudanya bernama Dewi Retna Suwida,  seorang putri dari Pajajaran,  anak Prabu Mundhingsari,  dari istrinya yang bernama Dewi Sarwedi,  cucu Sang Hyang Saranadi, cicit Raja siluman di Sigaluh.


Sang putri melarikan diri dari keraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya,  dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri wadat (tidak bersuami) dan menjadi ratu diantara makhluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya didasar Samudra Indonesia. Tidaklah mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari makhluk halus.

Diceritakan selanjutnya,  bahwa setelah menjadi ratu,  Sang putri mendapat julukan Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari. Ada juga sementara orang yang menyebut Nyai Lara Kidul (di keraton Surakarta sebutan Nyai Lara Kidul adalah untuk patihnya,  bukan untuk Kanjeng Ratu Kidul sendiri). Malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata ”Lara” berasal dari ”Rara”,  yang berarti perawan (tidak kawin)

Dikisahkan,  bahwa Dewi Retna Suwida yang cantiknya tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Untuk mengobatinya harus mandi dan merendam diri di dalam suatu telaga,  di pinggir samudra. Konon pada suatu hari, ketika akan membersihkan muka,   Sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut karena melihat mukanya yang sudah rusak,  sang putri lalu terjun ke laut dan tidak kembali lagi ke daratan,  dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi makhluk halus.

Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul,  atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Babad Tanah Jawi dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Cerita Rakyat. Kedua cerita tersebut memang berbeda,  tapi tidak perlu pusing memikirkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Ambil saja yang paling enak untuk untuk dipercaya,  atau bahkan jika tidak percaya sekalipun,  cerita ini cukup menghibur dan memberikan pengetahuan tambahan atas legenda/mitos yang mendarah daging di sebagian besar masyarakat Jawa dan Sunda,  Jogjakarta dan Surakarta pada khususnya.

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta

            Sebagian dari masyarakat Jawa jaman sekarang mungkin tidak lagi mempercayai legenda ini. Mereka lebih menganggap legenda ini sebagai kisah cerita yang kebenarannya sangat diragukan. Bahkan bagi orang-orang yang agamis akan menganggap hal tersebut sebagai cerita yang sama sekali tidak pantas untuk dipercaya. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata,  bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas,  versi pertama). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?

Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan,  keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar,  maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.

Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat,  masih menurut Twikromo,  maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus,  maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi,  penguasa Gunung Lawu,  Kayangan, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan,  keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat,  maka raja harus mengadakan komunikasi dengan”makhluk-makhluk halus”tersebut.

Menurut Twikromo,  bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata),  Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan ”labuhan” misalnya,  sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Jogjakarta,  yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono (Sultan Jogjakarta),  menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Jogjakarta.

Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air),  sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,  yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan Sultan dengan Ratu Pantai Selatan,  Kanjeng Ratu Kidul.

Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja,  tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis,  maka orang tersebut hilang karena”diambil”oleh sang Ratu.

Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,  mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka,  Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati,  penguasa pertama Kerajaan Mataram,  untuk menjaga Kerajaan Mataram,  para sultan,  keluarga kerajaan,  dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram),  maka seperti halnya Keraton Jogjakarta,  Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul.

Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton,  Bedoyo Ketawang,  yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan,  dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Pasti pernah mendengar,  bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel,  Pelabuhan Ratu,  yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu,  bisa masuk ke ruangan ini,  tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.

Sampai sekarang,  di masa yang sangat modern ini,  legenda Kanjeng Ratu Kidul,  atau Nyi Roro Kidul,  atau Ratu Pantai Selatan,  adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika membaca kisah ini,  banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia,  (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.

Mitos Pertemuan Kanjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati

            Sebelum Panembahan Senopati dinobatkan menjadi raja,  beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli (bertapa di dalam aliran sungai). Dalam laku tapabratanya,  beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.

Dalam cerita,  pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli,  sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Pantai Parang Kusumo,  Laut Selatan,  tiba-tiba terjadilah badai di laut yang dahsyat sehingga pohon-pohon di pesisir pantai tercabut beserta akarnya,  ikan-ikan terlempar di darat dan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul di permukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.

Dalam pencariannya,  Kanjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong,  yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kanjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati,  sang Ratu jatuh cinta. Selanjutnya Kanjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di Laut Selatan,  Panembahan pun menjelaskan keinginannya.

Kanjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai Penguasa tunggal di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan,  dengan syarat,  bila terkabul keinginannya,  maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya (yang kemudian di kenal sebagai Raja-Raja Kerajaan Mataram,  hingga Raja-Raja Jawa yang berkuasa saat ini) bersedia menjadi suami Kanjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Sang Ratu Kidul,  namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati kembali hidup.

Adanya perkawinan itu konon mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan Raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.

Menurut sejarah,  Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kanjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja Mataram,  termasuk Kraton Surakarta dan Jogjakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja dari kedua kerajaan tersebut pun menepati janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami dari Kanjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya,  raja Paku Buwana III selaku suami Kanjeng Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kanjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X.

Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul,  sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga,  tetapi berhasil diselamatkan oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru :”Anakku ngGer…………..”(Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kanjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati. Sejak saat itu hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah lagi sebagai suami istri ,  tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak,  begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X selanjutnya.

Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada yang menamakannya Kanjeng Ratu Angin-Angin. Sepanjang penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjadi ratu makhluk halus saja,  melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir pantai selatan,  mulai daerah Jogjakarta sampai dengan Banyuwangi.

Camat desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudra selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur didalam rumah kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang datang.

Mr Welter,  seorang warga Belanda yang dahulu menjadi Wakil ketua Raad van Indie,  menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolir di Kepanjen,  pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep,  salah satu pesisir pantai selatan,  Jawa timur,  yang khusus diadakan untuk Nyai Rara Kidul. Ditunjukkannya gambar sebuah rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai Rara Kidul.

Pengalaman seorang kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tajun 1955 pernah ada serombongan orang-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan keramat) dipulau karang kecil,  sebelah timur Ngliyep.

Seorang di antara mereka adalah gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi di situ. Apa yang kemudian terjadi ialah,  bahwa sang guru mendapat kemben,  tanpa diketahui dari siapa asalnya. Yang dapat diceritakannya ialah bahwa ia merasa melihat sebuah rumah emas yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.

Di Pacitan ada kepercayaan larangan untuk memakai pakaian berwarna hijau gadung (hijau lembayung,  bukan ungu lembayung lho….itu Lby),  yang erat hubungannya dengan Nyai Rara Kidul. Bila ini dilanggar orang akan mendapat bencana. Ini di buktikan dengan terjadinya suatu malapetaka yang menimpa suami-istri bangsa Belanda beserta dua orang anaknya. Mereka bukan saja tidak percaya pada larangan tersebut,  bahkan mengejek dan mencemoohkannya. Maka pada suatu hari pergilah mereka ke pantai dengan berpakaian serba hijau. Terjadilah sesuatu yang mengejutkan,  karena tiba-tiba ombak besar datang dan dan kembali ke laut sambil menyambar keempat orang Belanda tersebut.

Di dalam Kraton banyak ditemukan berbagai macam lambang dalam segi kehidupan,  dimulai dari bentuk dan cara mengatur bangunan,  mengatur penanaman pohon yang dianggap keramat,  mengatur tempat duduk,  menyimpan dan memelihara pusaka,  macam pakaian yang dikenakan dan cara mengenakannya,  bahasa yang harus dipakai,  tingkah laku,  pemilihan warna dan seterusnya. Kraton juga menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama. Mitos yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan komunitas Kraton adalah mitos Kanjeng Ratu Kidul.

Kedudukan mitos itu sangat menonjol,  karena tanpa mengenal mitos Kanjeng Ratu Kidul,  orang tidak akan dapat mengerti makna dari tarian sakral Bedhaya Ketawang,  yang sejak Paku Buwana X naik tahta,  setiap setahun sekali tarian itu dipergelarkan pada acara ulang tahun penobatan Raja. Tanpa mengenal mitos itu makna Panggung Sangga Buwana akan sulit dipahami (mengenai Panggung Sangga Buwana akn di tulis secara terpisah),  demikian pula mengenai mitos yang dulu dikenal rakyat sebagai”lampor”.

‘Gung pra peri perayangan ejim
sumiwi Sang Sinom
Prabu Rara yekti gedhe dhewe.
(kutipan dari”Babad Nitik”)

terjemahannya adalah sebagai berikut :
“segenap makhluk halus jin
bersembah pada Sang Ratu
yang besar tak bertara”

Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro. Di kerajaan Kediri,  terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji (ini bukan kisah hidup saya ya..) yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang di dalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama Waringin Putih.  Konon pohon itu merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.

Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu,  Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon Waringin Putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu Sang Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya,  di mana seharusnya ia berada. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.

Alkisah,  Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji,  yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya,  pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahiran putri ini,  menurut cerita,  dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula),  Ratu Pagedongan dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik di jagat raya.

Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula,  akhirnya permohonan Ratu Pagedongan dikabulkan,  ia menjadi wanita yang cantik,  tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat,  dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).

Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus,  oleh sang ayah,  Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi. Ia diramalkan bahwa suatu saat akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.

Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedatama yang berbunyi:

Wikan wengkoning samodra,  
Kederan wus den ideri,  
Kinemat kamot hing driya,  
Rinegan segegem dadi,  
Dumadya angratoni,  
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,  
Ndedel nggayuh nggegana,  
Umara marak maripih,  
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.

terjemahannya adalah sebagai berikut :

Tahu akan batas samudra
Semua telah dijelajahi
Dipesona nya masuk hati
Digenggam satu menjadi
Jadilah ia merajai
Syahdan Sang Ratu Kidul
Terbang tinggi mengangkasa
Lalu datang bersembah
Kalah perbawa terhadap
Junjungan Mataram

Yang maksudnya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra,  seluruhnya sudah dilalui/dihayati,  dirasakan dan meresap dalam sanubari,  ibarat digenggam menjadi satu genggaman,  sehingga terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul,  naik ke angkasa,  datang menghadap dengan hormat,  kalah wibawa dengan raja Mataram.

Ada versi lain dari masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menceritakan bahwa pada jaman kerajaan Pajajaran,  terdapat seorang putri raja yang buruk rupa dan mengidap penyakit kulit bersisik sehingga bentuk dan seluruh tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena itu,  Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-saudaranya,  karena merasa malu mempunyai saudara yang berpenyakitan seperti dia. Dengan perasaan sedih dan kecewa,  sang putri kemudian bunuh diri dengan mencebur ke Laut Selatan.

Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan selamatan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah khusuk berdoa,  muncullah putri yang cantik dan tidak ada yang tahu mengapa putri tersebut muncul,  kemudian sang putri menjelaskan,  bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh saudara-saudaranya dan bunuh diri di Laut Selatan,  namun sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat,  ia dikenal sebagai Ratu Kidul (Kidul = Selatan).

Dari cerita-cerita mitos tentang Kanjeng Ratu Kidul,  jelaslah bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Ada kisah lain tentang Kanjeng Ratu kidul. Banyak sekali versi yang terdapat di kalangan masyarakat Jawa,  Ini adalah salah satu kisah dari versi yang lainnya:
Di suatu masa,  hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya,  ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik,  ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara,  dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka,  bahagialah sang raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja,  dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja,  dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. Pada pagi harinya,  sebelum matahari terbit,  Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Putri Kadita,  anak tirinya Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya,  tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun,  dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu,  beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar,  seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri,  akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya keluar dari negeri itu.

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih,  tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba,  ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya,  mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan,  dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu,  kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

Jadi begitulah kiranya. Betapa banyak kisah yang mengiringi mitos Kanjeng ratu Kidul,  sang penguasa Laut Selatan. Mulai dari wilayah Jawa barat (Sunda),  Jawa Tengah (Jogjakarta dan Surakarta),  sampai pada wilayah Jawa Timur (Pacitan,  Malang dan Banyuwangi).

Dan karena Nyai/ Nyi Rara Kidul,  yang lebih sering muncul dan selalu mengatakan :”Aku Datang dari Laut Selatan,  sebagai Utusan (Sang Ratu)”,  maka tak heran apabila sang Nayi inilah yang kemudian di kenal masyarakat umum sebagai sang penguasa Laut Selatan. Hanya sebagian kecil masyarakat tertentu saja yang mengehtahui kebenaran ceritanya dan hubungannya dengan Kraton-kraton di wilayah Jawa (khususnya bekas Kraton Mataram – Jogja dan Surakarta).

Untuk mempercayainya atau tidak,  terserah pada pendapat masing-masing. Saya sendiri mempercayai mitos ini, meskipun belum pernah bertemu dang Sang Ratu maupun sang Nyai. Saya percaya,  karena saya mempercayai keberadaan mahluk halus dari dimensi yang berbeda dengan kita,  tapi lebih dari itu,  saya menyukai mitos ini,  sebagai bagian dari budaya Jawa yang saya cintai.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar